Rabu, 11 Januari 2012

Kebajikan dan Reformasi Administrasi dilihat dari Sisi Etika Administrasi Negara


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pada pertengahan 1980-an, istilah yang terdengar agak kuno, “kebajikan,” mulai masuk kembali kosakata etika administrasi publik. Sejak itu menjadi tema utama dan secara umum dipahami sebagai sinonim dengan “karakter.” Potongan pertama yang muncul dalam literatur yang sedang dipertimbangkan adalah “Pelayanan Publik dan Patriotisme dari kebajikan” oleh Frederickson dan Hart (1985). Pada artikel ini, penulis beralih dari penekanan dalam sastra dekade sebelumnya pada penalaran tentang prinsip-prinsip etika terhadap penyelesaian dilema etika dan mengalihkan fokus ke karakter pribadi yang mungkin cenderung untuk melakukan hal yang benar. Sifat karakter tertentu mereka diperiksa adalah “kebajikan” yang mereka definisikan sebagai “kasih yang luas dan non-instrumental orang lain” (hal. 547).
Publikasi Quandaries Pincoffs ‘dan Virtues (1986) memberikan dorongan untuk kepentingan pemula dalam etika kebajikan. Di dalamnya Pincoffs membuat serangan frontal terhadap ahli etika dengan penalaran tentang prinsip-prinsip untuk mengatasi batasan etika dan membangun argumen yang meyakinkan untuk berfokus pada karakter sebagai cara yang lebih handal menjamin perilaku etis.
Pada tahun 1987 Cooper menerbitkan “hirarki, Kebajikan, dan Praktek Administrasi Publik: Sebuah Perspektif untuk Etika Normatif,” yang menganjurkan penggunaan konsep Maclntyre tentang praktek ””untuk konsep identitas normatif administrator publik sering mengadopsi salah satu dari “profesional.” Dalam skema ini, kebaikan dari administrator memberikan perlindungan utama internal administrasi publik melawan korupsi.
Dua buah wawasan dikembangkan karakter fiksi muncul pada tahun 1988 dan 1989. Dobel (1988) digunakan John Le Carre George Smiley dalam “The Spymaster : John Le Carre dan Karakter Spionase” untuk mempelajari tekankan pada karakter seperti pertimbangan moral dan loyalitas dalam dunia bayangan mata-mata di mana peran konflik dan integritas adalah sulit dipertahankan. Harmon (1989) memfokuskan perhatiannya pada karakter CS Forester, Horatio Hornblower, berpendapat bahwa tanggung jawab tidak selalu panggilan untuk tindakan yang sama, juga bukan dicapai melalui komitmen tunggal pemikiran prinsip-prinsip tertentu. Sebaliknya, sering terjadi ambiguitas dalam situasi. Harmon menyatakan bahwa kebajikan sering dihadapkan dengan kebajikan pengimbang, sehingga membutuhkan sebuah “percakapan reflektif tentang apa yang harus dilakukan berikutnya” yang sedang berlangsung (hal. 286).
Hart, dalam “Kemitraan dalam Kebajikan Diantara Semua Warga Negara: Layanan Publik dan Civic Humanisme” (1989), berpendapat bahwa pikiran pendiri paling baik dipahami “melalui paradigma virtuecentered humanisme sipil, dengan ‘etika karakter’ pelayan sendiri” (p 101).. Ini adalah contoh utama dari terjalinnya tema utama dalam literatur tertentu telah meningkat menjadi menonjol. Bagian ini, bagaimanapun, adalah implikasi dari tradisi humanis sipil untuk etika administrasi. kongruensi dengan pemikiran berdirinya ditawarkan sebagai pembenaran untuk diadopsi sebagai perspektif normatif. “Administrasi Tanggung Jawab: Konsensus Moral dan Moral Otonomi” oleh Jos (1990) menentang upaya untuk membangun konsensus moral di antara warga sekitar konsep-konsep seperti keadilan sosial. Sebaliknya, ia memilih untuk otonomi moral bagi administrator publik untuk mencapai administrasi yang bertanggung jawab. dia bersikeras, “terutama masalah pertimbangan moral dan karakter” (hal. 239).
Dobel (1990) menata tiga komitmen penting dalam “Integritas di Pelayanan Publik.” Rezim akuntabilitas ini termasuk, tanggung jawab pribadi, dan kehati-hatian. Dia menegaskan bahwa tidak ada salah satu yang memadai melakukan etika dalam administrasi publik, tapi itu memegang ketiga bersama “dalam ketegangan sambil menjaga beberapa koherensi” dalam tindakan seseorang dan kehidupan integritas publik. Hal ini umumnya konsisten dengan Aristoteles pemahaman tentang kebajikan, atau karakter, yang menekankan keseimbangan atribut dalam kehidupan seseorang bukan daftar sifat yang diinginkan.
Cooper dan Wright (1992), dalam volume, Teladan Publik Administrator: Karakter dan Kepemimpinan Pemerintah, menyajikan studi karakter administrator publik. Masing-masing berusaha untuk menimbang karakter dari beberapa praktisi administrasi publik dan membangun sebuah kasus baginya atau sebagai sebuah contoh dari kebajikan. Tujuan dari buku ini adalah untuk menyediakan tes empiris kelangsungan hidup dan kegunaan konsep kebajikan, serta untuk mengidentifikasi model peran positif untuk lapangan. Dalam rangka untuk mengembangkan kebajikan dalam administrasi publik, jurnal Integritas Publik telah mengundang penulis untuk mengirimkan artikel melakukan studi karakter dari administrator publik tertentu. Ini akan sangat mirip dengan yang disajikan dalam Cooper dan Wright. Seri ini dapat memberikan kesempatan untuk memupuk minat dalam kebajikan sebagai satu aspek dari etika administrasi, menyempurnakan konsep-konsep yang berhubungan dengan studi karakter, dan mendorong pertimbangan dari berbagai teknik analisis.




































BAB II
PEMBAHASAN

KEBAJIKAN DAN REFORMASI ADMINISTRASI
DALAM SISI ETIKA ADMINISTRASI NEGARA


Pengertian Kebajikan dalam Sisi Etika Administrasi Negara

1.      Pengertian Kebajikan

Kebajikan merupakan suatu tindakan perilaku kebiasaan untuk berbuat baik-baik atau dalam kondisi ideal merupakan perilaku yang telah dapat mengikuti tuntunan watak sejati secara alami. Selain itu kebajikan dapat diartikan pula bahwa sesuatu yang membawa kebaikan dan perbuatan baik. Jadi dari hasil pengertian di atas maka, pengertian dari nilai kebajikan adalah suatu tindakan atau perilaku yang baik yang dipercayai ada pada sesuatu dan memuaskan tiap-tiap individunya.
Menurut Socrates kebajikan merupakan semacam kearifan atau kebijaksanaan yang menimbulkan keselarasan pada jiwa seseorang yaitu kesehatan, keindahan, dan kesejahteraan dari jiwa. Menurut Aristoteles kebajikan adalah keadaan suatu hal yang merupakan keunggulannya yang khas dan memungkinkan hal itu melaksanakan fungsinya secara baik. Atas dasar pengertian tersebut, perlu ditegaskan prinsip penyatuan moralitas dan etik dalam seluruh aktivitas, umumnya perlu dipelajari oleh para penyelenggara pemerintah di Indonesia. Guna meminimalisasi, bahkan menghilangkan berbagai bentuk kezaliman.


Memprioritaskan kepentingan umum dan kemaslahatan bersama harus dilakukan di atas keuntungan pribadi dan kelompok, karena hal ini termasuk tujuan utama pemerintahan Indonesia, yang mau mensejahterakan masyarakatnya. Guna menjamin hak-hak semua pihak dan menghindari dominasi suatu pihak terhadap pihak lain.
Bermartabat menurut bangsa Indonesia untuk menempatkan dirinya sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Karena bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang mampu menampilkan dirinya, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, maupun budaya.
Jika setiap watak pemerintahan kita di Indonesia ini memiliki nilai kebajikan sebagai dasar moral dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara kita, maka tidak salah lagi, kalau tidak akan ada lagi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lembaga pemerintahan, karena martabat muncul dari akhlak dan budi pekerti yang baik, mentalitas, etos kerja dan akhirnya bermuara pada produktivitas dan kreativitas.
Nilai kebajikan memunculkan rasa percaya diri yang memungkinkan kita berdiri sama tegak, dan tidak didikte oleh bangsa lain untuk itu semua warga negara dapat mengambil peran dalam membangun negara sehingga menjadi masyarakat madani berdaya, berkeadilan, masyarakat yang tidak mudah dihina oleh kekuatan manapun.
Dengan nilai kebajikan sebagai dasar moral maka pemerintah di Indonesia menciptakan suatu masyarakat yang didalamnya tidak ada lagi pihak yang dinafikan kebutuhan dasarnya.
Pemerintah harus berusaha agar setiap individu mendapat hak-hak sosialnya secara penuh dan utuh memperoleh jaminan sosial secara proporsional serta manfaat dari sumber-sumber daya alam dan kekayaan negara dapat dinikmati oleh semua elemen masyarakat.
Dalam waktu yang sama ia harus melaksanakan segala sesuatu yang menjadi tanggung jawab sosialnya dalam rangka merealisasikan keadilan menyeluruh dalam kehidupan tegaknya keadilan sosial akan mewujudkan masyarakat yang menghargai orang berdasarkan keutamaan dan prestasinya.
Artistoteles menggolongkan kebajikan menjadi kebajikan moral yang harus dimiliki oleh setiap pemerintah
·         Pembatasan
·         Ketabahan
·         Keadilan
·         Kearifan
·         Ilmu
·         Akal sehat
·         Kebijaksanaan
Thomas Aquinas mengelompokkan kebajikan teologis
·         Kepercayaan
·         Pengharapan
·         Cinta kasih
Thomas Hobbes mengelompokkan kebajikan moral yaitu
·         Keadilan
·         Rasa terima kasih
·         Kerendahan hati
·         Kepantasan
·         Belas kasihan


b.      Keadilan sebagai Kebajikan Moral Bagi Administrator

1.      Sebagian pemikir politik membicarakan tentang kebajikan politik yang menyangkut kehidupan politik tujuan  negara dan bentuk pemerinahan.
2.      Montesque menetapkan kebajikan sebagai asas dalam bentuk pemerintahan republic kebajikan pada sebuah negara republik yang perlu dimiliki warga negaranya ialah cinta kepada negaranya.
3.      John Stuart Mill menetapkan kebajikan sebagai tujuan dari suatu pemerintahan yang baik. Pokok keunggulan terpenting yang suatu bentuk pemerintahan dapat memilikinya ialah memajukan kebajikan dan kecerdasan dari rakyat.
4.      Pengembangan kebajikan terasa lebih penting bagi para administrator pemerintahan yang sehari-hari menjalankan roda pemerintahan.
5.      Aristoteles melihat adanya kestuan diantara berbagai kebajikan moral dalam rangka suatu keadilan umum karena keadilan umum terdiri dari suatu kebajikan moral sepanjang kebaikan moral itu diarahkan pada kesejahteraan masyarakat dan kebaikan dari orang lain keadilan umum yang demikian itu merupakan kebajikan seluruhnya yang bersifat lengkap.
6.      Keadilan merupakan kebajikan moral yang utama, yang pokok atau yang terpenting untuk diperkembangkan pada para administrator pemerintahan sehingga setiap administrator pemerintahan dari kedudukan yang terendah sampai jabatan yang tertinggi dapat terbina jiwa keadilan dalam budi pikiran, hasrat kemauan, dan hati sanubarinya secara kokoh.
7.      Kebajikan merupakan ganjarannya itu sendiri karena bilamana dimiliki. Seseorang merupakan sebuah pahala sendiri bagi diri pribadinya dan sekaligus juga merupakan suatu kesenangan saja. Keadilan sebagai Kebajikan Moral Bagi Pemerintah.
2.      Pengertian Reformasi

Reformasi administrasi merupakan suatu upaya perbaikan yang dilakukan secara terencana dan terus-menerus di segala aspek administrasi yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja administrasi.
Reformasi administrasi menurut Lee dan Samonte (Nasucha, 2004) merupakan perubahan atau inovasi secara sengaja dibuat dan diterapkan untuk menjadikan sistem administrasi tersebut sebagai suatu agen perubahan sosial yang lebih efektif dan sebagai suatu instrumen yang dapat lebih menjamin adanya persamaan politik, keadaan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan menurut Khan (Guzman et.al., 1992), reformasi administrasi adalah usaha-usaha yang memacu atau membawa perubahan besar dalam sistem birokrasi negara yang dimaksudkan untuk mentransformasikan praktik, perilaku, dan struktur yang telah ada sebelumnya.
Caiden (1969) menyatakan reformasi administrasi sebagai the artificial inducement of administrative transformation against resistance, dimana dapat diartikan bahwa reformasi administrasi merupakan keinginan atau dorongan yang dibuat agar terjadi perubahan atau transformasi di bidang administrasi. Sedangkan Quah (Nasucha, 2004) menyatakan bahwa reformasi administrasi publik merupakan suatu proses untuk mengubah struktur ataupun prosedur birokrasi publik yang terlibat dengan maksud untuk meningkatkan efektivitas organisasi dan mencapai tujuan pembangunan nasional. Mariani (Caiden, 1969) menyatakan reformasi administrasi sebagai

La reforme administrative doit tendre a doter le Pays d’une administration qui, tout en garantissant a son personnel le benefice des lois sociales, agira avec le maximum d’efficacite et de celerite, aux moindres frais pour le contribuable, en imposant au public le minimum de gene et de formalites

a.      Konsep Reformasi Administrasi

Ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang Reformasi Administrasi, yaitu :

Ø  Peningkatan sistemik kinerja operasional sektor publik
secara terencana (Caiden,1991);
Ø  Penerapan ide-ide baru atau kombinasi ide guna meningkatkan sistem administrasi agar mampu melaksanakan tujuan pembangunan nasional (Lee dan Samonte, 1970);
Ø  Penggunaan otoritas dan pengaruh secara sengaja dan terencana dalam penerapan cara-cara baru terhadap sistem
administrasi sehingga untuk merubah tujuan, struktur dan
prosedur-nya sehingga meningkat kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan (UNDTC, 1983);
Ø  Inovasi secara terencana untuk meningkat-kan kemampuan
sistem administrasi sebagai social agent yang lebih efektif,
instrumen yang lebih baik untuk menyelenggarakan demokratisasi politik, keadilan sosial, dan pertumbuhan ekonomi, yang merupakan unsur terpenting dalam proses
nation-building dan pembangunan (Samonte, 1970);
Ø  Upaya untuk mengadakan perubahan besar dalam system birokrasi suatu negeri dengan maksud untuk mengadakan transformasi terhadap praktek-praktek, perilaku, dan struktur yang berlaku (Khan, 1981);
Ø  Proses yang terencana untuk mengadakan perubahan dalam struktur dan prosedur birokrasi publik, serta sikap dan perilaku para birokrat dalam upaya meningkatkan dayaguna organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan (Quah, 1976).

b.      Tujuan Reformasi Administrasi

Mosher (Leemans) berpendapat bahwa tujuan dari reformasi administrasi adalah merubah kebijakan dan program, meningkatkan efektivitas administrasi, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan melakukan antisipasi terhadap kritikan dan ancaman dari luar. Menurut Caiden (1969), tugas dari para pelaku reformasi administrasi adalah untuk meningkatkan kinerja administrasi bagi individual, kelompok, dan institusi dan memberikan masukan tentang cara-cara yang dapat ditempuh untuk dapat mencapai tujuan dengan lebih efektif, ekonomis dan lebih cepat. Dror (Zauhar, 2002) berpendapat bahwa reformasi pada hakekatnya merupakan usaha yang berorientasi pada tujuan yang bersifat multidimensional.
Terdapat 6 (enam) tujuan reformasi yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, tiga tujuan reformasi bersifat intra-administrasi yang ditujukan untuk menyempurnakan administrasi internal dan tiga tujuan reformasi lainnya berkenaan dengan peran masyarakat di dalam sistem administrasi.
Tujuan internal reformasi administrasi yang dimaksud meliputi:
1.      Efisiensi administrasi, dalam arti penghematan uang, yang dapat dicapai melalui penyederhanaan formulir, perubahan prosedur, penghilangan duplikasi dan kegiatan organisasi metode yang lain.
2.      Penghapusan kelemahan atau penyakit administrasi seperti korupsi, pilih kasih dan sistem teman dalam sistem politik dan lain-lain.
3.      Pengenalan dan penggalakan sistem merit, pemakaian PPBS, pemrosesan data melalui sistem informasi yang otomatis, peningkatan penggunaan pengetahuan ilmiah dan lain-lain.
Sedangkan tiga tujuan lain yang berkaitan dengan masyarakat adalah:
1.      Menyesuaikan sistem administrasi terhadap meningkatnya keluhan masyarakat.
2.      Mengubah pembagian pekerjaan antara sistem administrasi dan sistem politik, seperti misalnya meningkatkan otonomi profesional dari sistem administrasi dan meningkatkan pengaruhnya pada suatu kebijaksanaan.
3.      Mengubah hubungan antara sistem administrasi dan penduduk, misalnya melalui relokasi pusat-pusat kekuasaan.
Pollitt (2003) berpendapat bahwa terdapat tiga tujuan untuk melakukan reformasi antara lain:
1.      Penghematan (to save money) Terjadinya krisis ekonomi yang melanda dunia yang memaksa pemerintah untuk melakukan gerakan pemangkasan anggaran (scissors movement). Pemangkasan anggaran ini dilakukan karena meningkatnya dana yang dikeluarkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (welfare cost) sedangkan kesempatan untuk menarik pajak baru dari masyarakat menipis. Pemangkasan pengeluaran publik merupakan agenda utama dari pemerintah.
2.      Keinginan untuk memperbaiki kinerja sektor publik. Beberapa pejabat politik dan pejabat pemerintah percaya bahwa dengan meningkatkan kinerja sektor publik, dapat membantu pemerintah untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang pada akhirnya akan meningkatkan legitimasi pemerintah. Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan kualitas layanan dan produktivitas.
3.      Menemukan mekanisme baru bagi akuntabilitas publik, hal ini disebabkan adanya berbagai pola berbeda yang digunakan pejabat pemerintah dan aktor politik dalam melakukan pertanggungjawaban terhadap publik.
Sedangkan Hahn Been Lee (Zauhar, 2002) berpendapat bahwa terdapat tiga tujuan dilakukannya reformasi administasi antara lain:
1.      Penyempurnaan Tatanan (improved order) Keteraturan atau order merupakan kebajikan yang melekat dalam pemerintahan. Apabila yang ingin dituju adalah penyempurnaan tatanan, mau tidak mau reformasi harus diorientasikan pada penataan prosedur dan kontrol. Yang sangat diperlukan oleh administrator dalam era baru ini adalah menghadang agen pembaru. Sebagai konsekuensi logisnya maka birokrasi yang kokoh dan tegar perlu segera dibangun. Tipe reformasi yang dilakukan dengan penyempurnaan tatanan disebut dengan reformasi prosedural (procedural reform).
2.      Penyempurnaan Metode (improved method) Penyempurnaan yang dilakukan adalah dalam bidang teknis dan metode kerja. Teknik dan metode yang baru ini dapat dikatakan bermanfaat bila bisa mencapai tujuan-tujuan yang lebih luas. Apabila tujuan dari reformasi administrasi diartikulasikan dengan baik dan secara efektif diterjemahkan ke dalam berbagai program aksi yang nyata, penyempurnaan metode akan memperbaiki implementasi program, yang pada akhirnya akan meningkatkan realisasi pencapaian tujuan. Tipe reformasi yang dilakukan dengan penyempurnaan metode disebut dengan reformasi teknis (technical reform).
3.      Penyempurnaan Kinerja (improved permormance) Penyempurnaan kinerja lebih bernuansa tujuan dalam substansi
program kerjanya dari pada penyempurnaan keteraturan maupun penyempurnaan metode teknis administratif. Fokus utamanya adalah pada pergeseran dari bentuk ke substansi, pergeseran dari efisiensi dan ekonomis ke efektifitas kerja, pergeseran dari kecakapan birokrasi ke kesejahteraan masyarakat. Tipe reformasi yang dilakukan dengan penyempurnaan kinerja disebut dengan reformasi program (programmatic reform).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli yang telah dijabarkan diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum tujuan reformasi administrasi adalah untuk meningkatkan kinerja (performance) organisasi.






























BAB III
PENUTUP

Kebajikan merupakan suatu tindakan perilaku kebiasaan untuk berbuat baik-baik atau dalam kondisi ideal merupakan perilaku yang telah dapat mengikuti tuntunan watak sejati secara alami. Selain itu kebajikan dapat diartikan pula bahwa sesuatu yang membawa kebaikan dan perbuatan baik. Jadi dari hasil pengertian di atas maka, pengertian dari nilai kebajikan adalah suatu tindakan atau perilaku yang baik yang dipercayai ada pada sesuatu dan memuaskan tiap-tiap individunya, sedangkan Reformasi administrasi merupakan suatu upaya perbaikan yang dilakukan secara terencana dan terus-menerus di segala aspek administrasi yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja administrasi, jadi dapat dilihat bahwa kebajikan dan reformasi administrasi sangat erat kaitannya terhadap etika administrasi negara dimana seorang administrator harus selalu mengedepankan etika dan moral dan selalu bersikap royal terhadap tugasnya.









BAB IV
DAFTAR PUSTAKA


Prof. Dr. Sofian Effendi. 2000. Ceramah Pada Re-entry Workshop Strategic Management of Local Authorities. Diselenggarakan oleh Badan Diklat Depdagri.



Selasa, 10 Januari 2012

Ekonomi Pembangunan dengan materi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bintan


BAB I   
                                                                                                                                                                                                                                           PEMBANGUNAN DI INDONESIA

Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertaidengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.
Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, dan teknik. Reformasi sistem politik di Indonesia baik yang bersifat kelembagaan maupun perundangan memunculkan model perencanaan dan kebijakan pembangunan nasional yang baru mengantikan model perencanaan dan kebijakan lama. Muara dari reformasi ini adalah keinginan untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas kelemahan-kelemahan yang timbul dari praktik perencanaan pembangunan maupun kebijakan pembangunan yang sebelumnya pernah diterapkan demi pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat sebagaimana di amanatkan oleh konstitusi. Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan.
Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40). Perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi yang akan dihadapi bangsa Indonesia antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut: Produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. 
BAB II

GAMBARAN UMUN DAERAH dan ISU STRATEGI

Gambaran Umum Kabupaten Bintan

1.      Kondisi Fisik Lingkungan
Secara keseluruhan luas wilayah Kabupaten Bintan adalah 87.717,84 km2 terdiri atas wilayah daratan seluas 1.319,51 km2 (1,50%) dan wilayah laut seluas 86.398,33 km2 (98,50%). Tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Bintan melakukan pemekaran wilayahnya melalui Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kelurahan Toapaya Asri di Kecamatan Gunung Kijang, Desa Dendun, Desa Air Glubi di Kecamatan Bintan Timur, Kelurahan Tanjung Permai, Kelurahan Tanjung Uban Timur di Kecamatan Bintan Utara, Kelurahan Tembeling Tanjung di Kecamatan Bintan Teluk Bintan, Desa Kukup dan Desa Pengikik di Kecamatan Tambelan dan Kelurahan Kota Baru di Kecamatan Teluk Sebong.
Selain itu juga dilakukan Pemekaran Kecamatan melalui Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Toapaya, Kecamatan Mantang, Kecamatan Bintan Pesisir dan Kecamatan Seri Kuala Lobam.  Dengan terjadinya pemekaran wilayah maka jumlah Kecamatan yang terdapat di wilayah Kabupaten Bintan bertambah dari 6 (enam) Kecamatan menjadi 10 (sepuluh) kecamatan, yaitu Kecamatan Teluk Bintan, Sri Kuala Lobam, Bintan Utara, Teluk Sebong, Bintan Timur, Bintan Pesisir, Mantang, Gunung Kijang, Toapaya, dan Tambelan. Secara lebih jelas, orientasi wilayah dan batas administrasi Kabupaten Bintan sebagai berikut:
§  Sebelah Utara             :    Kabupaten Anambas
§  Sebelah Selatan           :    Kabupaten Lingga
§  Sebelah Barat              :    Kota Batam dan Kota Tanjungpinang
§  Sebelah Timur             :    Provinsi Kalimantan Barat

Kabupaten Bintan  memiliki  240 buah pulau besar dan kecil. Hanya 49 buah diantaranya yang sudah dihuni, sedangkan sisanya walaupun belum berpenghuni namun sudah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, khususnya usaha perkebunan. Dilihat dari topografinya, pulau-pulau di Kabupaten Bintan sangat bervariasi. Umumnya dibentuk oleh perbukitan rendah membundar yang dikelilingi oleh daerah rawa-rawa. Wilayah Kabupaten Bintan merupakan bagian paparan kontingental yang dikenal dengan nama Paparan Sunda.
Morfologi Pulau Bintan tidak memiliki perbedaan ketinggian yang menyolok yaitu antara 0-350 meter dari permukaan laut. Penonjolan puncak-puncak bukit antara lain Gunung Bintan 348 meter, Gunung Bintan Kecil 196 meter. Bukit-bukit lainnya merupakan bukit-bukit dengan ketinggian di bawah 100 meter. Bukit-bukit tersebut merupakan daerah hulu-hulu sungai yang sebagian besar mengalir ke arah Utara dan Selatan dengan pola sub paralel, sedangkan pola anak-anak sungainya berpola sub radial. Sungai-sungai itu umumnya pendek-pendek, dangkal dan tidak lebar.
2.      Iklim dan Kualitas Udara
Secara geografis, wilayah Kabupaten Bintan terletak antara 0°06’17” - 1° 34’52” Lintang Utara dan 104°12’47” Bujur Timur di sebelah Barat - 108° 02’27” Bujur Timur di sebelah Timur. Pada umumnya wilayah Kabupaten Bintan beriklim tropis. Selama periode Tahun 2005-2010 temperatur rata-rata terendah 23,9o C dan tertinggi rata-rata 31,8o C dengan kelembaban udara sekitar 85%.
Kabupaten Bintan mempunyai 4 macam perubahan arah angin yaitu :
§  Bulan Desember-Pebruari              :     Angin Utara
§  Bulan Maret-Mei                            :     Angin Timur
§  Bulan Juni-Agustus                        :     Angin Selatan
§  Bulan September-November          :     Angin Barat
Kecepatan angin tertinggi adalah 9 knot dan terjadi pada bulan Desember-Januari, sedangkan kecepatan angin terendah pada bulan Maret-Mei.















BAB III

PERENCANAAN, ORIENTASI, dan PENYUSUNAN PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL

A.    Perencanaan Pembangunan di Indonesia                                                          
Sejak otonomi daerah digulirkan tahun 2001 lalu, arah dan tujuan pembangunan daerah tidak lagi ditentukan lewat kebijakan pemerintah pusat. Corak penentuan arah dan tujuan pembangunan tak lagi bersifat sentralistik, namun desentralistik yang mendelegasikan kewenangan pembangunan lebih besar kepada pemerintah daerah, baik propinsi, kabupaten dan kota. Opsi untuk memilih desentralisasi adalah konsekuensi dari pilihan politik, di mana pergerakan pembangunan harus linear dengan aspirasi masyarakat daerah. Delegasi kewenangan penentuan arah pembangunan dari sentralistik menuju desentralistik itu dikukuhkan lewat UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan. Dalam proses selanjutnya, lewat evaluasi dan kajian pelaksanaan otonomi daerah, landasan hukum yang memberikan mandat kewenangan kepada pemerintah daerah itu direvisi dengan disahkan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Delegasi kewenangan dari pusat ke daerah itu diharapkan dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan birokrasi di daerah dengan model pembangunan yang lebih memberdayakan peran serta masyarakat. pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat memaksimalkan pelayanan publik, mengakomodasi partisipasi masyarakat, mengurangi beban pemerintah puast, mendorong kemandirian serta penyusunan program yang lebih sesuai dengan kebutuhan daerah. (Ryaas Rasyid: 1998).
Rasyid menekankan pentingnya menjadikan kebutuhan dan kondisi masyarakat sebagai inspirasi utama dalam setiap kegiatan, program pembangunan pemerintah daerah. Pendapat itu sejalan dengan pemikiran Harry Hikmat (2009) yang menyatakan, fokus pelaksanaan otonomi daerah pada pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat, dunia usaha, pemerintah daerah. Kebijakan, strategi dan program pembangunan harus bertumpu pada upaya pemberdayaan potensi lokal atau regional.
Dalam konteks ini, sukses atau tidaknya pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung dengan keseimbangan peran tiga pilar yaitu pemerintah, dunia usaha atau swasta dan masyarakat. Partisipasi aktif dari semua elemen yang ada di daerah itu sangat dibutuhkan agar perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan daerah benar-benar mencerminkan kebutuhan daerah, berkaitan langsung dengan permasalahan yang di hadapi daerah, serta didukung oleh partisipasi dari pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
Pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah diharapkan dapat mempercepat pembangunan di daerah, dengan lebih mengoptimalisasikan peran birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada publik dan dan memberdayakan kekuatan masyarakat sebagai modal sosial (social capital) yang sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan.
Dalam konteks ini, aparatur pemerintah di daerah dituntut untuk lebih kapabel, inovatif dan professional dalam mendesain perencanaan dan program pembangunan. Pemerintah daerah maupun DPRD sebagai pengambil kebijakan (policy maker) harus produktif memformulasikan aspirasi masyarakatnya dan mewujudkan aspirasi tersebut dalam bentuk perencanaan dan program-program pembangunan. Perencanaan maupun program-program pembangunan yang disusun dan dilaksanakan diharapkan dapat memobilisasi partisipasi masyarakat dan mengarahkan potensi sosial dalam menghasilkan produk unggulan yang dapat memberikan kontribusi positif bagi pembangunan daerah.
Pengambil kebijakan juga harus kreatif mengidentifikasi semua potensi dan memberdayakannya sebagai modal pembangunan. Berangkat dari pengalaman selama otonomi daerah dilaksanakan sejak tahun 2001 lalu, tentu banyak hal yang dapat dievaluasi, dengan mengkaji sejauh mana keberhasilan atau kegagalan yang dihadapi oleh birokrasi di daerah dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Indikator keberhasilan atau kegagalan tujuan pembangunan di era otonomi daerah dapat dilihat dari sejauhmana efektifitas, efisiensi dari pelaksanaan perencanaan dan program pembangunan.
Fakta menunjukan, pemerintah daerah dihadapai keterbatasan akan kompetensinya dalam merancang maupun melaksanakan perencanaan dan program pembangunan. Fakta itu bisa terlihat dari masalah yang muncul dalam pelaksanaan kebijakan dalam rangka mendapatkan sumber-sumber keuangan untuk menopang program pembangunan yang telah dirancangnya. Dalam kondisi ini, pemerintah daerah banyak memberlakukan peraturan daerah (Perda) yang bermasalah yang menuai resistensi sejumlah pihak seperti swasta, investor dan masyarakat. Menurut catatan Departemen Dalam Negeri, sebanyak 706 Perda bermasalah telah diserahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk diawasi. Pada prinsipnya, Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Perda-perda bermasalah itu pada akhirnya mengakibatkan investasi ke daerah menjadi macet. (Gamawan Fauzi: 2009).
Simanjuntak (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa respon pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapat asli daerah (PAD) hingga berhasil menghimpun dana yang kurang lebih dari 30 persen dari anggarannya, tidak terlalu memikirkan dampak negatif dari pungutan PAD. Kegiatan untuk meningkatkan PAD memang adalah upaya yang sah sepanjang tidak menyalahi UU dan peraturan. Namun, perlu disadari adanya kemungkinan imbas negatif (crowding out), tujuan jangka pendek terhadap tujuan jang panjang. Kalau ini tidak disadari tidak mustahil akan menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi (Manggara Tambunan: 2010). Belum lagi ketidakmampuan aparatur daerah dalam mendorong program pelayanan kepada publik. Sebagai ilustrasi mengenai buruknya pelayanan birokrasi di daerah kepada publik dapat dilihat dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) yang diumumkan, 24 September 2007 lalu. Survei itu menunjukan jika proses perizinan untuk mendirikan sebuah usaha membutuhkan waktu yang lama. Untuk mendapatkan izin membuka usaha dari pemerintah, rata-rata membutuhkan waktu 86 hari. Proses birokrasi yang berbelit-belit dan memakan waktu yang lama itu kadang juga memunculkan biaya ekonomi tinggi. Seharusnya, pemerintah menyadari pentingnya menciptakan iklim investasi yang baik dengan memangkas perizinan yang berbelit-belit, serta menciptakan efisiensi birokrasi agar memicu investasi untuk menopang pembangunan daerah.
Jika membandingkan dengan Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam, Indonesia masih kalah jauh dari sisi pelayanan pemberian izin. Waktu perizinan usaha di Thailand jauh lebih cepat dibandingkan Indonesia. Di Thailand, hanya butuh waktu 33 hari untuk melewati delapan prosedur perizinan. Sementara biaya yang dibebankan hanya 5,8 persen dari pendapatan per kapita. Di Malaysia hanya membutuhkan sembilan prosedur, 30 hari dan 19,7 persen pendapatan per kapita untuk memulai usaha.
Orientasi mendapatkan sumber-sumber keuangan juga menyebabkan munculnya praktik eksploitasi yang mendegradasi eksistensi lingkungan di era otonomi daerah. Pemerintah daerah dengan mudahnya memberikan izin kepada perusahaan tambang untuk Izin Penambangan Daerah tanpa mempertimbangkan kemampuan dan tanggungjawab lingkungan dan sosial perusahaan yang telah rusak akibat eksploitasi pertambangan. Ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mendesain perencanaan dan program pembangunan itu pada akhirnya memaksa pemerintah daerah tetap tergantung dengan kucuran uang dari pemerintah pusat. Akibatnya, anggaran negara di era otonomi daerah makin terkuras untuk untuk membiayai sejumlah daerah baru—yang sejak tahun 1999 hingga sekarang, mencapai 524 daerah, yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota.
Untuk mendukung penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan di daerah otonom baru, alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang sarana dan prasarana pemerintahan mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Pada tahun 2003, beban DAK yang harus dialokasikan APBN di 22 daerah mencapai sebesar Rp88 miliar. Sementara pada tahun 2008, dengan keharusan menyediakan sarana dan prasarana pemerintahan di 106 daerah, beban DAK meningkat menjadi sebesar Rp362 miliar. Peningkatan signifikan juga terjadi pada pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU). Pada tahun 2003 dengan jumlah daerah otonom penerima DAU sebanyak 370 daerah, beban anggaran DAU yang harus disediakan APBN sebesar Rp76,9 triliun. Sementara pada tahun 2008 dengan adanya penambahan jumlah daerah otonom penerima DAU sebanyak 81 daerah, beban anggaran DAU bertambah menjadi sebesar Rp179,5 triliun. Belum lagi keperluan anggaran untuk membiayai kebutuhan instansi vertikal. Pada tahun 2005 anggaran biaya instansi vertikal di daerah otonom baru sebesar Rp8.714 miliar, sementara pada tahun 2008 bertambah menjadi Rp14.015 miliar.
Ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mendesain perencanaan dan program pembangunan itu pada akhirnya menyebabkan otonomi daerah gagal dalam menekan angka kemiskinan, pengangguran atau penciptaan lapangan pekerjaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin mencapai 32,53 juta pada Maret tahun 2009. Selain itu, paradigma pembangunan yang diterapkan pemerintah daerah masih menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama pembangunan. Mereka masih masih terkooptasi oleh pemikiran bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan lebih menguntungkan dibandingkan pilihan-pilihan lain, termasuk mengabaikan pembangunan sosial dan keberlanjutan lingkungan di daerah.
Paulus Wirutomo (2010) menilai, keberhasilan pembangunan bukan hanya dilihat dari pencapaian kuantitatif setiap bidang atau sektor pembangunan, tetapi terutama tertanamnya nilai-nilai strategis yang telah ditargetkan. Dengan demikian, pembangunan tidak hanya bersifat growth oriented, tetapi berbasil nilai atau value based. Pembangunan nilai-nilai itu menjadi tanggungjawab lintas sektoral yang bersifat societal (mencakup seluruh bidang kehidupan).
Kondisi itu merupakan realitas paradoks di era otonomi daerah. Delegasi kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah pada dasarnya memberikan tanggungjawab besar kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan pembangunan. Dengan demikian, setiap kebijakan harus disusun dan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik dan potensi daerah, permasalahan sosial, ekonomi, politik yang muncul, dan sasaran yang realistis. Pilihan kebijakan yang dianut pada dasarnya tergantung pada kondisi aktual yang dihadapi daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong kemandirian pemerintah daerah dalam mewujudkan pemberdayaan pembangunan secara efektif, efisien, dan professional. Realisasi tujuan pembangunan harus dilaksanakan secara tepat, komprehensif dan terintegrasi mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga otonomi yang diberikan kepada daerah akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Perencanan pembangunan mempunyai peranan yang sangat besar sebagai alat untuk mendorong dan mengendalika prosses pembangunan secara lebih cepat dan terarah. Ada tiga alasan utama perencanaan pembangunan perlu diterapkan.
Pertama, karena mekanisme pasar belum berjalan sempurna (market failure), karena kondisi masyarakat yang masih sanagt terbelakang tingkat pendidikannya sehinga belum bersaing dengan golonga yang sudah maju dan mapan. Dalam kondisi ini, peran pemerintah sangat penting untuk menentukan proses pembangunan.
Kedua, perencanaan pembangunan merupakan alternatif untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang mungkin timbul di kemudian hari.
Ketiga, perencanaan pembangunan dapat memberikan arahan dan koordinasi yang lebih baik bagi pelaku pembangunan, baik pemerintah, swasta dan masyarakat.
Arthur W. Lewis (1965) mendefinisikan perencanaan pembangunan yakni sebagai suatu kumpulan kebijaksanaan dan program pembangunan untuk merangsang masyarakat dan swasta untuk menggunakan sumberdaya yang tersedia secara lebih produktif. Dalam konteks ini, dibutuhkan sebuah stimulant berupa kebijakan insentif yang dapat mendorong penggunaan sumberdaya secara lebih produktif sebagai modal pembangunan. Terkait dengan pembangunan di Indonesia, definisi perencanaan pembangunan dijelaskan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Perencanaan pembangunan adalah Sistem SPPN yang merupakan suatu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah.
Selain itu, berdasarkan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Perencanaan pembangunan nasional di Indonesia memiliki tujuan dan fungsi pokok yakni:
1.      Mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan
2.      Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi antardaerah, waktu dan fungsi pemerintah, baik pusat maupun daerah
3.      Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran dan pengawasan
4.      Mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan
5.      Menjamin tercapainya sumber daya secara efisiensi, efektif dan adil.
B.     Orientasi Pembangunan Nasional
Berangkat dari pengalaman model pembangunan selama ini, pemerintah, baik pusat dan daerah, tak lagi bisa mengabaikan pentingnya pembangunan sosial (social development) yang diarahkan untuk memperkuat masyarakat agar dapat bertahan dengan kemandiriannya menghadapi ancaman global. Tingginya tingkat kemiskinan menjadi indikator jika strategi pembangunan kurang diarahkan untuk mendorong kemandirian masyarakat. James Midgley (1995) mendefinisikan pembangunan sosial sebagai suatu proses perubahan sosial yang terencana yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, di mana pembangunan itu dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi. Pembangunan sosial sebagai suatu proses perubahan sosial yang terencana dapat terwujud salah satunya dengan memperkuat (empowerment) kapasitas pemerintah lokal dalam merealisasikan tujuan pembangunan.
Dalam sejarahnya, pembangunan sosial mulai diaktualisasikan di tahun 1961 oleh Presiden Amerika Serikat Jhon F Kennedy. Dia merintis sebuah gagasan Rationality in Government dengan mengerahkan dan memfasilitasi para ilmuan dari berbagai bidang untuk mengatasi berbagai masalah sosial.
Langkah Kennedy kemudian dilanjutkan oleh Lyndon B. Johnson pada tahun 1964. Johnson mengukuhkan jargon Perang melawan Kemiskinan (unconditional War on Poverty) untuk mewujudkan Great Society. Kemudian, tahun 1968 Richard Nixon menilai War on Poverty bukan saja gagal tetapi ternyata membuat masalah menjadi lebih rumit, maka dia mencanangkan The War on Welfare. Pada tahun 1994, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton lebih tegas dengan mencanangkan Ending Welfare As We Know It. Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin.
Pada dasarnya, pembangunan sosial direalisasikan di sejumlah negara karena menganggap keberhasilan pembangunan tidak sebatas diukur dari keberhasilan pembangunan ekonomi. Apalagi, realitas menunjukan jika pembangunan sebagai salah satu paradigma perubahan sosial berada pada masa krisis dan mengalami kegagalan penerapannya di negara-negara Dunia Ketiga.
Pembangunan sosial mutlak dikembangkan seiring ancaman kemiskinan yang makin mengerikan akibat krisis globalisasi dewasa ini. Mengutip laporan Bank Dunia bertajuk Prospek Ekonomi Global 2010 yang dipublikasikan di Washington, Amerika Serikat, 10 Februari 2010 lalu, di akhir 2010, diperkirakan akan ada tambahan 90 juta orang yang akan hidup di bawah garis kemiskinan akibat krisis global. Jumlah kematian anak akibat malnutrisi akan bertambah sekitar 50.000 anak. Bank Dunia juga pesimistis akan mampu merealisasikan target menekan kemiskinan pada 2015 karena pemulihan ekonomi masih sangat rentan diterpa krisis.
Dalam kondisi demikian, negara-negara berkembang dipastikan akan menerima dampaknya. Negara-negara berkembang akan kehilangan sumber-sumber pendapatan dari dana investasi negara-negara maju yang menjadi stimulus pembangunan. Negara-negara berkembang akan menghadapi lemahnya ekspansi ekonomi dan menderita akibat kesulitan mendapatkan dana. Karena itu, negara-negara sedang berkembang sangat rentan dalam ketidakstabilan pada lima hingga tujuh tahun ke depan.
Bagi Indonesia, krisis global akan berdampak pada eksistensi ekonomi domestik yang berpengaruh terhadap meningkatnya angka kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di tahun 2009 mencapai 33,714 juta orang atau 14,87 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Menghadapi ancaman krisis global itu, setiap negara, khususnya Indonesia, harus mampu mendesain sebuah kebijakan yang dapat menghalau dampak negatif dari krisis global. Pembangunanisme yang menjadi jargon globalisasi rupanya tak hanya makin mempertahankan masalah-masalah sosial konvensional seperti kemiskinan, keterbelakangan. Namun, juga mengantarkan sebagian besar negara Dunia Ketiga kepada kehancuran peradaban (Mashour Faqih:2005). Ironisnya, kini makin meningkat sejumlah patologi sosial di era modern dewasa ini seperti perdagangan manusia, pengangguran, perilaku menyimpang, eksploitasi wanita dan anak, kenakalan remaja dan sebagainya. Karena itu, pembangunan sosial juga terkait dengan upaya mendorong masyarakat agar dapat memberdayakan dirinya sendiri (empowerment). (Edy Suharto: 2005). Dalam konteks ini, perlu kiranya pengambil kebijakan menguasai tiga strategi pembangunan sosial yang ditawarkan Midgley yakni:
Pertama, pembangunan sosial lewat pendekatan Individu (social development by inddividuals). Strategi ini diarahkan untuk mendorong individu-individu dalam masyarakat agar dapat mandiri, membentuk usaha pelayanan masyarakat guna memberdayakan masyarakat
Kedua, pembangunan sosial melalui komunitas (Social Development by Communitites), di mana kelompok masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan komunitas lokalnya.
Ketiga, pembangunan sosial melalui pemerintah (Social Development by Government), di mana pembangunan sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah (govenement agencies). Sementara Hikmat (2009) menjelaskan, langkah-langkah pelaksanaan pembangunan antara lain:
• Memahami masalah (internal & eksternal) dan potensi (internal dan eksternal),
• Mengidentifikasi kebutuhan
• Menentukan tujuan dan strategi
• Merencanakan kegiatan
• Merencanakan pendayagunaan sumber-sumber yang tersedia di masyarakat
•   Melaksanakan kegiatan
•   Memantau pelaksanaan
•   Merencanakan tindak lanjut.
C.    Penyusunan Program dan Perencanaan Pembangunan Daerah
Pendekatan dalam penyusunan rencana program pembangunan sosial yang lebih mengandalkan tujuan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Karena itu, penyusunan program harus partisipatif.
·        kegiatan perencanaan sosial yang mengendepankan peran aktif dari masyarakat dalam setiap langkah pembangunan
·        Perencanaan partisipatif dapat dilaksanakan jika instansi sosial tidak berperan sebagai perencana dan pelaksana untuk masyarakat, tetapi sebagai fasilitator dalam proses perencanaan dan pendamping kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat.
Perlu juga ditekankan bahwa partisipasi masyarakat diakui dan dijamin
·        Hak informasi lingkungan hidup
·        Pihak yang paling mengetahui dan memahami potensi dan situasi fisik dan sosial
·        Hak atas jaminan kepastian bahwa aspirasi, pendapat dan kepentingannya mendapat perhatian dalam pengambilan keputusan
·        Hak aspirasi masyarakat untuk menolak atau menerima kehadiran suatu kegiatan pembangunan (Hikmat:2009)
Salah satu teknik penyusunan program dan perencanaan pembangunan daerah yang cukup efektif adalah dengan menggunakan metode analisis SWOT. SWOT merupakan singkatan dari Strength (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang) dan Threat (ancaman). Analisis SWOT lazim digunakan dalam penyusunan sebuah perencanaan, khususnya Rencana Strategis. Analisis SWOT yang tepat akan menghasilkan perencanaan yang terarah sesuai dengan potensi daerah atau kapasitas institusi yang akan melaksanakan perencanaan.
Dengan analisis SWOT akan dapat menghasilkan program dan kegiatan yang lebih tepat untuk merebut peluang yang tersedia maupun untuk mengatasi kelemahan yang dihadapi. Perencanaan harus mempertimbangkan strength agar dapat menggali potensi yang ada untuk diberdayakan bagi pembangunan. Misalnya tingkat keseuburan tanah, potensi pertambangan, pariwisata, sumberdaya manusia, ketersedian infrastruktur dan sebagainya.
Perencanaan harus mempertimbangkan Weaknesses dari kekuatan yang ada. Misalnya, kelemahan untuk memberdayakan potensi pertambangan berupa minimnya investasi, sarana ekspolitasi dan sebagainya. Demikian pula di bidang pariwisata berupa kelemahan sarana dan prasarana atau masalah tidak mendukungnya budaya masyarakat.
Sementara Opportunities merupakan kesempatan atau kemungkinan yang tersedia dan dapat dimanfaatkan untuk mendorong proses pembangunan daerah. Peluang yang dimiliki suatu daerah bersifat variatif seperti tingkat ekonomi masyarakat, latar belakang pendidikan, teknologi pendukung pelaksanaan program atau perencanaan, dan sebagainya.
Sementara Threat terkait ancaman yang akan timbul jika program atau perencanaan tersebut direalisasikan. Misalnya, kemungkinan terjadinya perubahan gaya hidup, kultur dan tingkah laku masyarakat, jika pemerintah gencar merealisasikan pembangunan fisik, tanpa mempertimbangkan keberadaan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Kajian mengenai SWOT harus dipetakan secara baik atau dikaji lewat penelitian guna diperoleh data kuantitatif maupun kualitatif yang valid.























BAB IV

VISI, MISI, TUJUAN dan SASARAN PEMBANGUNAN                  
dalam
RPJMD KABUPATEN BINTAN TAHUN 2011 – 2015

A.    Visi  dan Misi Kabupaten Bintan Tahun 2011-2015

1.      Visi

“Menuju Bintan Yang Maju, Sejahtera dan Berbudaya”

A.
BintanYang Maju
:
Bahwa pelaksanaan pembangunan daerah senantiasa dilandasi dengan keinginan bersama untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik didukung oleh sumberdaya manusia yang unggul. Maju juga diarahkan pada terbentuknya daerah yang mandiri berbasis pengembangan sumber daya kelautan dan perikanan beserta segenap potensinya secara berkelanjutan, namun tetap mengedepankan pentingnya kerjasama dan sinergitas.

B.
Sejahtera       
:
Menunjukkan kondisi kemakmuran masyarakat Bintan yang terpenuhi kebutuhan ekonomi (materiil) dan spiritualnya.
C.
Berbudaya
:
Perwujudan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai budaya yang harus dijaga kelestariannya sebagai pedoman pengembangan masyarakat. Perwujudan masyarakat yang memiliki sifat dan sikap yang terpuji dalam kehidupan sosial ekonomi, memiliki moral yang tinggi serta menjunjung norma-norma agama dan norma-norma adat yang berlaku.




2.      Misi

Misi pemerintah daerah dalam periode 2011 – 2015 diarahkan untuk mewujudkan Bintan yang lebih maju, sejahtera dan berbudaya. Usaha-usaha perwujudan visi Kabupaten Bintan 2015 akan dijabarkan dalam misi pembangunan Bintan tahun 2011 – 2015 sebagai berikut :

1.         Melanjutkan  upaya  peningkatan  kualitas sumber daya manusia yang cerdas, sehat, berdaya saing, berbudaya serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2.         Mewujudkan pembangunan perekonomian daerah yang berbasis pada pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan.

3.         Melanjutkan pengembangan potensi pariwisata dan agribisnis.


4.         Melanjutkan upaya penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik (good governance), demokratis dan bertanggung jawab didukung dengan kepastian hukum dan penegakan HAM.

5.         Melanjutkan pembangunan yang adil dan merata melalui peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana yang menunjang perkembangan di seluruh wilayah Kabupaten Bintan.


6.         Melanjutkan upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dengan mengedepankan kearifan lokal dan pengarusutamaan gender.

7.         Mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan  dan berwawasan lingkungan (Sustainable Development).

3.      Tujuan dan Sasaran Pembangunan

MISI 1
Melanjutkan  upaya  peningkatan  kualitas sumber daya manusia yang cerdas, sehat, berdaya saing, berbudaya serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

Tujuan
1.    Peningkatan kualitas kehidupan beragama bagi seluruh lapisan masyarakat Bintan;
2.    Perluasan kesempatan kerja bagi masyarkat Bintan;
3.    Peningkatan kualitas pendidikan masyarakat Bintan.

Sasaran
1.    Meningkatnya toleransi  antar umat beragama yang ditandai dengan tidak adanya kasus perselisihan antar umat beragama;
2.    Menurunnya angka pengangguran terbuka dari 9,94% menjadi 5,00%;
3.    Terpenuhinya standar/ketentuan nasional pendidikan anak usia dini serta pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

MISI 2
Mewujudkan pembangunan perekonomian daerah yang berbasis pada pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan
Tujuan
1.    Pembentukan iklim yang kondusif bagi penanaman modal untuk kegiatan pembangunan di wilayah Kabupaten Bintan sesuai dengan potensi sumberdaya alam dan manusia serta pola tata ruang daerah dan mendorong perkembangannya agar lebih efisien dan mampu bersaing;
2.    Pengembangan kawasan minapolitan dengan memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal, adil dan berkelanjutan melalui pengembangan sarana dan prasarana penunjang minapolitan.
Sasaran
1.    Meningkatnya persentase koperasi aktif dari 79,15% menjadi 82,80% serta pertumbuhan rata- rata UMKM sebesar 3,77% pertahun;
2.    Meningkatnya unit usaha Industri Kecil dan Menengah (IKM) sebesar 150%;
3.    Terbentuknya kawasan minapolitan di 3 lokasi yang terletak di Kecamatan Bintan Pesisir, Kecamatan Mantang, dan Kecamatan Bintan Timur.

MISI 3
Melanjutkan pengembangan potensi pariwisata dan agribisnis
Tujuan
1.    Pengembangan kawasan pariwisata melalui pengembangan sarana dan prasarana, promosi, pelayanan dengan tetap memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup;
2.    Pemanfaatan potensi alam yang ada disertai dengan pemberdayaan pengelolaannya guna pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sasaran
1.    Meningkatnya kontribusi sektor pariwisata dalam PDRB dari 19,76% menjadi 21,61%;
2.    Terlindunginya peninggalan sejarah dan warisan budaya melalui Peraturan Daerah;
3.    Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pelestarian nilai seni dan budaya daerah;
4.    Meningkatnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB dari 5,79% menjadi 7,21% dan Nilai Tukar Petani dari 100,72% menjadi 105%.

MISI 4
Melanjutkan upaya penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik (good governance), demokratis dan bertanggung jawab didukung dengan kepastian hukum dan penegakan HAM
Tujuan
1.    Peningkatan kualitas aparatur pengawasan, pembinaan akuntabilitas dan kinerja pemerintah daerah dalam usaha pemanfaatan, pengelolaan potensi wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat;
2.    Pengembangan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di kecamatan;
3.    Peningkatan fungsi dan peranan lembaga perwakilan rakyat daerah;
4.    Perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah, sumber daya yang ada dan kebutuhan penduduk serta memperhatikan mitigasi bencana;
5.    Peningkatan kesiapan daerah dalam menghadapi bencana;
6.    Peningkatan kualitas pengelolaan keuangan dan aset daerah;
7.    Peningkatan kemampuan pembiayaan pembangunan daerah;
8.    Peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa serta nilai-nilai demokrasi;
9.    Peningkatan keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat Bintan;
10.     Peningkatan kualitas arsip dan perpustakaan daerah;
11.     Peningkatan kualitas kesehatan Masyarakat Bintan;
12.     Peningkatan kualitas sistem ketenagakerjaan;
13.     Peningkatan kesehatan, kesejahteraan dan ketahanan keluarga;
14.     Peningkatan produksi dan produktivitas serta nilai tambah sektor kelautan dan perikanan.
Sasaran
1.    Meningkatnya kinerja pemerintah dalam penyelesaian permasalahan  di masyarakat dengan berpedoman pada peraturan perundangan yang berlaku;
2.    Meningkatnya pembinaan masyarakat di kecamatan;
3.    Meningkatnya peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan kecamatan dari 90% menjadi 100%;
4.    Meningkatnya produk legislasi daerah yang disahkan dari 63,64% menjadi 100%;
5.    Meningkatnya kesesuaian muatan perencanaan daerah dengan implementasinya dari 70% menjadi 90%;
6.    Meningkatnya kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat dalam penanganan awal bencana;
7.    Membaiknya  opini laporan keuangan daerah dari WDP menjadi WTP;
8.    Membaiknya  opini kewajaran nilai aset daerah dari WDP menjadi WTP;
9.    Meningkatnya penerimaan daerah sebesar 60,4%  yaitu dari 429,63 miliar menjadi 711,25 miliar;
10.     Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum dari 49,40% menjadi 60%;
11.     Menurunnya indeks kriminalitas dari 112 menjadi 105;
12.     Meningkatnya persentase kearsipan daerah dari 5% menjadi 80% dan berkembangnya minat baca masyarakat;
13.     Terpenuhinya pelayanan kesehatan sesuai standar;
14.     Terpenuhinya standar aturan ketenagakerjaan;
15.     Menurunnya jumlah keluarga prasejahtera dan sejahtera I dari 23,64% menjadi 22,49%;
16.     Meningkatnya kontribusi sektor perikanan dalam PDRB sebesar 8%.

MISI 5
Melanjutkan pembangunan yang adil dan merata melalui peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana yang menunjang perkembangan di seluruh wilayah Kabupaten Bintan
Tujuan
Peningkatan keandalan sistem/jaringan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman Kabupaten Bintan.
Sasaran
Meningkatnya kuantitas dan kualitas jaringan jalan, jembatan, dan drainase.

MISI  6
Melanjutkan upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dengan mengedepankan kearifan lokal dan pengarusutamaan gender

Tujuan
1.    Pengembangan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat agar dapat memanfaatkan potensi sumberdaya alam dengan optimal;
2.    Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bintan;
3.    Peningkatan Peran Serta Perempuan Dalam Pembangunan Daerah.      
Sasaran
1.    Menurunnya persentase penduduk miskin dari 11% menjadi 8%;
2.    Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dari 10% menjadi 11,2%;
3.    Meningkatnya Indeks kesetaraan gender dari 24,45 menjadi 30,1.

MISI  7
Mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Sustainable Development)
Tujuan
1.    Penyusunan dan penetapan struktur, pemanfaatan dan pengelolaan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil yang berwawasan lingkungan sebagai pedoman pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang multisektoral dan terpadu;
2.    Penyediaan energi listik  bagi masyarakat Kabupaten Bintan;
3.    Peningkatan kualitas lingkungan hidup di Kabupaten Bintan;
4.    Pembentukan Kabupaten Bintan daerah yang bersih, hijau, dan asri;
5.    Peningkatan kelestarian sumber daya hutan di Kabupaten Bintan;
6.    Meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Sasaran
1.    Meningkatnya pengelolaan sumber daya kelautan Kabupaten Bintan;
2.    Meningkatnya kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana wilayah;
3.    Meningkatnya rumah tangga yang terlayani kebutuhan listrik dari 60,38% menjadi 65%;
4.    Meningkatnya indeks kualitas lingkungan hidup dari 51,65% menjadi 59,79%;
5.    Meningkatnya persentase sampah yang ditangani dari 20,50% menjadi 100%;
6.    Meningkatnya luas ruang terbuka hijau yang dikelola dari 6.600 m2 menjadi 17.226 m2;
7.    Menurunnya kerusakan hutan lindung  dari 1658,8 Ha menjadi 9 Ha;
8.    Meningkatnya pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai dengan dokumen lingkungan.


BAB V
PENUTUP


Pertumbuhan ekonomi tidak akan berjalan jika tidak didukung sumber daya manusia yang memadai. Sebaliknya, pembangunan kualitas sumber daya manusia juga tidak akan tercapai tanpa dukungan pertumbuhan ekonomi. Demikian pula pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kualitas sumber daya manusia.
Segitiga pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial, pengendalian pertumbuhan penduduk, serta lingkungan hidup harus dikelola pemerintah secara bersama-sama dan terintegrasi. Itulah konsep pembangunan berwawasan kependudukan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Penduduk harus ditempatkan sebagai titik sentral kegiatan pembangunan.
Selama periode 2004-2009, tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan antara 4,5 persen sampai 6,0 persen. Pertumbuhan ekonomi sebesar itu diperkirakan hanya dapat menyerap angkatan kerja baru sekitar satu sampai satu setengah juta pekerja saja. Pada masa lalu, setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen mampu menyerap sekitar 400.000 pekerja. Namun, pada saat ini diperkirakan hanya mampu menyerap sebanyak 250.000 sampai 300.000 pekerja baru. Sementara angkatan kerja baru setiap tahun bertambah 2,5 juta orang. Dengan jumlah penduduk yang diperkirakan masih bertambah dari 207 juta jiwa pada 
tahun 2004 menjadi 220 juta jiwa pada tahun 2009, diperkirakan tingkat pengangguran pada tahun 2009 nanti sekitar 8 persen dari seluruh angkatan kerja yang ada. Pendapatan daerah merupakan elemen utama bagi pemerintah daerah dalam mendukung terlaksananya penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan pelayanan kepada masyarakat. Dalam pengelolaan pendapatan daerah harus diperhatikan bahwa upaya peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah jangan sampai menambah beban masyarakat. Prinsip bahwa nilai tambah pendapatan daerah yang akan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat serta merupakan upaya mobilisasi sumber daya daerah untuk peningkatan pendapatan daerah jangan sampai menimbulkan gangguan terhadap keberlangsungan sumber daya. Pengembangan sistem pendapatan daerah dibutuhkan untuk menjamin stabilitas pendapatan daerah supaya pemerintah daerah mampu mengembangkan administrasi keuangan dan pelayanan publik yang lebih independen dan otonom.

























DAFTAR PUSTAKA

Dadang Solihin,2008, Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah, Lokakarya Penyusunan Pembangunan Daerah.
Edi Suharto, 2008, Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Alfabeta.
James Midgley, 2005, Social Development, Sage Publication.
Jim Ife dan Frank Tesoriero, 2009, Communty Development, Pustaka Pelajar,
Harry Hikmat, 2009, Prespektif Dasar, Metode dan Teknik Perencanaan.
 M. Ryaas Rasyid, 1998, Desentralisasi Dalam Rangka Menunjang Pembangunan Daerah, dalam Kumpulan Karangan, Pembangunan Adminstrasi di Indonesia, Disunting Achmad Sjihabuddin, Jakarta, LP3ES,.
Manggara Tambunan, 2010, Menggagas Perubahan Pendekatan Pembangunan, Menggerakan Kekuatan Lokal dalam Globalisasi Ekonomi, Graha Ilmu.
Paulus Tangdilintin, 2009, Dasar-dasar Evaluasi Pembangunan,
Safi’i. 2009. Perencanaan Pembangunan Daerah, Kajiian dan Aplikasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Malang: Averroes Press.
Sjafrizal, 2009, Teknis Praktis Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah, Baduose Media,
Sunyoto Usman, 1998, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka Pelajar,
Paulus Wirutomo, 2010, Pembangunan Berbasis Nilai, Makalah Pidato Ilmiah, di Acara Dies Natalis FISIP Universitas Indonesia,