BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Pada pertengahan 1980-an,
istilah yang terdengar agak kuno, “kebajikan,” mulai masuk kembali kosakata
etika administrasi publik. Sejak itu menjadi tema utama dan secara umum
dipahami sebagai sinonim dengan “karakter.” Potongan pertama yang muncul dalam
literatur yang sedang dipertimbangkan adalah “Pelayanan Publik dan Patriotisme
dari kebajikan” oleh Frederickson dan Hart (1985). Pada artikel ini, penulis
beralih dari penekanan dalam sastra dekade sebelumnya pada penalaran tentang
prinsip-prinsip etika terhadap penyelesaian dilema etika dan mengalihkan fokus
ke karakter pribadi yang mungkin cenderung untuk melakukan hal yang benar.
Sifat karakter tertentu mereka diperiksa adalah “kebajikan” yang mereka
definisikan sebagai “kasih yang luas dan non-instrumental orang lain” (hal.
547).
Publikasi Quandaries
Pincoffs ‘dan Virtues (1986) memberikan dorongan untuk kepentingan pemula dalam
etika kebajikan. Di dalamnya Pincoffs membuat serangan frontal terhadap ahli
etika dengan penalaran tentang prinsip-prinsip untuk mengatasi batasan etika
dan membangun argumen yang meyakinkan untuk berfokus pada karakter sebagai cara
yang lebih handal menjamin perilaku etis.
Pada tahun 1987 Cooper
menerbitkan “hirarki, Kebajikan, dan Praktek Administrasi Publik: Sebuah
Perspektif untuk Etika Normatif,” yang menganjurkan penggunaan konsep Maclntyre
tentang praktek ””untuk konsep identitas normatif administrator publik sering
mengadopsi salah satu dari “profesional.” Dalam skema ini, kebaikan dari administrator
memberikan perlindungan utama internal administrasi publik melawan korupsi.
Dua buah wawasan
dikembangkan karakter fiksi muncul pada tahun 1988 dan 1989. Dobel (1988)
digunakan John Le Carre George Smiley dalam “The Spymaster : John Le Carre dan
Karakter Spionase” untuk mempelajari tekankan pada karakter seperti
pertimbangan moral dan loyalitas dalam dunia bayangan mata-mata di mana peran
konflik dan integritas adalah sulit dipertahankan. Harmon (1989) memfokuskan
perhatiannya pada karakter CS Forester, Horatio Hornblower, berpendapat bahwa
tanggung jawab tidak selalu panggilan untuk tindakan yang sama, juga bukan
dicapai melalui komitmen tunggal pemikiran prinsip-prinsip tertentu.
Sebaliknya, sering terjadi ambiguitas dalam situasi. Harmon menyatakan bahwa
kebajikan sering dihadapkan dengan kebajikan pengimbang, sehingga membutuhkan
sebuah “percakapan reflektif tentang apa yang harus dilakukan berikutnya” yang
sedang berlangsung (hal. 286).
Hart, dalam “Kemitraan dalam Kebajikan Diantara Semua Warga Negara: Layanan Publik dan Civic Humanisme” (1989), berpendapat bahwa pikiran pendiri paling baik dipahami “melalui paradigma virtuecentered humanisme sipil, dengan ‘etika karakter’ pelayan sendiri” (p 101).. Ini adalah contoh utama dari terjalinnya tema utama dalam literatur tertentu telah meningkat menjadi menonjol. Bagian ini, bagaimanapun, adalah implikasi dari tradisi humanis sipil untuk etika administrasi. kongruensi dengan pemikiran berdirinya ditawarkan sebagai pembenaran untuk diadopsi sebagai perspektif normatif. “Administrasi Tanggung Jawab: Konsensus Moral dan Moral Otonomi” oleh Jos (1990) menentang upaya untuk membangun konsensus moral di antara warga sekitar konsep-konsep seperti keadilan sosial. Sebaliknya, ia memilih untuk otonomi moral bagi administrator publik untuk mencapai administrasi yang bertanggung jawab. dia bersikeras, “terutama masalah pertimbangan moral dan karakter” (hal. 239).
Hart, dalam “Kemitraan dalam Kebajikan Diantara Semua Warga Negara: Layanan Publik dan Civic Humanisme” (1989), berpendapat bahwa pikiran pendiri paling baik dipahami “melalui paradigma virtuecentered humanisme sipil, dengan ‘etika karakter’ pelayan sendiri” (p 101).. Ini adalah contoh utama dari terjalinnya tema utama dalam literatur tertentu telah meningkat menjadi menonjol. Bagian ini, bagaimanapun, adalah implikasi dari tradisi humanis sipil untuk etika administrasi. kongruensi dengan pemikiran berdirinya ditawarkan sebagai pembenaran untuk diadopsi sebagai perspektif normatif. “Administrasi Tanggung Jawab: Konsensus Moral dan Moral Otonomi” oleh Jos (1990) menentang upaya untuk membangun konsensus moral di antara warga sekitar konsep-konsep seperti keadilan sosial. Sebaliknya, ia memilih untuk otonomi moral bagi administrator publik untuk mencapai administrasi yang bertanggung jawab. dia bersikeras, “terutama masalah pertimbangan moral dan karakter” (hal. 239).
Dobel (1990) menata
tiga komitmen penting dalam “Integritas di Pelayanan Publik.” Rezim akuntabilitas
ini termasuk, tanggung jawab pribadi, dan kehati-hatian. Dia menegaskan bahwa
tidak ada salah satu yang memadai melakukan etika dalam administrasi publik,
tapi itu memegang ketiga bersama “dalam ketegangan sambil menjaga beberapa
koherensi” dalam tindakan seseorang dan kehidupan integritas publik. Hal ini
umumnya konsisten dengan Aristoteles pemahaman tentang kebajikan, atau
karakter, yang menekankan keseimbangan atribut dalam kehidupan seseorang bukan
daftar sifat yang diinginkan.
Cooper dan Wright (1992), dalam volume, Teladan Publik Administrator: Karakter dan Kepemimpinan Pemerintah, menyajikan studi karakter administrator publik. Masing-masing berusaha untuk menimbang karakter dari beberapa praktisi administrasi publik dan membangun sebuah kasus baginya atau sebagai sebuah contoh dari kebajikan. Tujuan dari buku ini adalah untuk menyediakan tes empiris kelangsungan hidup dan kegunaan konsep kebajikan, serta untuk mengidentifikasi model peran positif untuk lapangan. Dalam rangka untuk mengembangkan kebajikan dalam administrasi publik, jurnal Integritas Publik telah mengundang penulis untuk mengirimkan artikel melakukan studi karakter dari administrator publik tertentu. Ini akan sangat mirip dengan yang disajikan dalam Cooper dan Wright. Seri ini dapat memberikan kesempatan untuk memupuk minat dalam kebajikan sebagai satu aspek dari etika administrasi, menyempurnakan konsep-konsep yang berhubungan dengan studi karakter, dan mendorong pertimbangan dari berbagai teknik analisis.
Cooper dan Wright (1992), dalam volume, Teladan Publik Administrator: Karakter dan Kepemimpinan Pemerintah, menyajikan studi karakter administrator publik. Masing-masing berusaha untuk menimbang karakter dari beberapa praktisi administrasi publik dan membangun sebuah kasus baginya atau sebagai sebuah contoh dari kebajikan. Tujuan dari buku ini adalah untuk menyediakan tes empiris kelangsungan hidup dan kegunaan konsep kebajikan, serta untuk mengidentifikasi model peran positif untuk lapangan. Dalam rangka untuk mengembangkan kebajikan dalam administrasi publik, jurnal Integritas Publik telah mengundang penulis untuk mengirimkan artikel melakukan studi karakter dari administrator publik tertentu. Ini akan sangat mirip dengan yang disajikan dalam Cooper dan Wright. Seri ini dapat memberikan kesempatan untuk memupuk minat dalam kebajikan sebagai satu aspek dari etika administrasi, menyempurnakan konsep-konsep yang berhubungan dengan studi karakter, dan mendorong pertimbangan dari berbagai teknik analisis.
BAB
II
PEMBAHASAN
KEBAJIKAN
DAN REFORMASI ADMINISTRASI
DALAM
SISI ETIKA ADMINISTRASI NEGARA
Pengertian Kebajikan dalam
Sisi Etika Administrasi Negara
1.
Pengertian
Kebajikan
Kebajikan merupakan suatu tindakan perilaku kebiasaan untuk
berbuat baik-baik atau dalam kondisi ideal merupakan perilaku yang telah dapat
mengikuti tuntunan watak sejati secara alami. Selain itu kebajikan dapat
diartikan pula bahwa sesuatu yang membawa kebaikan dan perbuatan baik. Jadi
dari hasil pengertian di atas maka, pengertian dari nilai kebajikan adalah
suatu tindakan atau perilaku yang baik yang dipercayai ada pada sesuatu dan
memuaskan tiap-tiap individunya.
Menurut Socrates kebajikan merupakan semacam kearifan atau
kebijaksanaan yang menimbulkan keselarasan pada jiwa seseorang yaitu kesehatan,
keindahan, dan kesejahteraan dari jiwa. Menurut Aristoteles kebajikan adalah
keadaan suatu hal yang merupakan keunggulannya yang khas dan memungkinkan hal
itu melaksanakan fungsinya secara baik. Atas dasar pengertian tersebut, perlu
ditegaskan prinsip penyatuan moralitas dan etik dalam seluruh aktivitas,
umumnya perlu dipelajari oleh para penyelenggara pemerintah di Indonesia. Guna
meminimalisasi, bahkan menghilangkan berbagai bentuk kezaliman.
Memprioritaskan kepentingan umum dan kemaslahatan bersama harus dilakukan
di atas keuntungan pribadi dan kelompok, karena hal ini termasuk tujuan utama pemerintahan
Indonesia, yang mau mensejahterakan masyarakatnya. Guna menjamin
hak-hak semua pihak dan menghindari dominasi suatu pihak terhadap pihak lain.
Bermartabat menurut bangsa Indonesia untuk menempatkan dirinya sejajar
dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Karena bangsa yang bermartabat adalah
bangsa yang mampu menampilkan dirinya, baik dalam aspek sosial, politik,
ekonomi, maupun budaya.
Jika setiap watak pemerintahan kita di Indonesia ini memiliki nilai
kebajikan sebagai dasar moral dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara
kita, maka tidak salah lagi, kalau tidak akan ada lagi
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lembaga pemerintahan, karena martabat
muncul dari akhlak dan budi pekerti yang baik, mentalitas, etos kerja dan
akhirnya bermuara pada produktivitas dan kreativitas.
Nilai kebajikan memunculkan rasa percaya diri yang memungkinkan kita
berdiri sama tegak, dan tidak didikte oleh bangsa lain untuk itu semua warga
negara dapat mengambil peran dalam membangun negara sehingga menjadi masyarakat
madani berdaya, berkeadilan, masyarakat yang tidak mudah dihina oleh kekuatan
manapun.
Dengan nilai kebajikan sebagai dasar moral maka pemerintah di Indonesia
menciptakan suatu masyarakat yang didalamnya tidak ada lagi pihak yang
dinafikan kebutuhan dasarnya.
Pemerintah harus berusaha agar setiap individu mendapat hak-hak sosialnya
secara penuh dan utuh memperoleh jaminan sosial secara proporsional serta
manfaat dari sumber-sumber daya alam dan kekayaan negara dapat dinikmati oleh
semua elemen masyarakat.
Dalam waktu yang sama ia harus melaksanakan segala sesuatu yang menjadi
tanggung jawab sosialnya dalam rangka merealisasikan keadilan menyeluruh dalam
kehidupan tegaknya keadilan sosial akan mewujudkan masyarakat yang menghargai
orang berdasarkan keutamaan dan prestasinya.
Artistoteles menggolongkan kebajikan menjadi
kebajikan moral yang harus dimiliki oleh setiap pemerintah
·
Pembatasan
·
Ketabahan
·
Keadilan
·
Kearifan
·
Ilmu
·
Akal sehat
·
Kebijaksanaan
Thomas
Aquinas mengelompokkan
kebajikan teologis
·
Kepercayaan
·
Pengharapan
·
Cinta kasih
Thomas
Hobbes mengelompokkan
kebajikan moral yaitu
·
Keadilan
·
Rasa terima
kasih
·
Kerendahan
hati
·
Kepantasan
·
Belas
kasihan
b. Keadilan sebagai Kebajikan Moral
Bagi Administrator
1.
Sebagian pemikir politik membicarakan tentang
kebajikan politik yang menyangkut kehidupan politik tujuan negara dan
bentuk pemerinahan.
2.
Montesque menetapkan kebajikan sebagai asas dalam
bentuk pemerintahan republic kebajikan pada sebuah negara republik yang perlu
dimiliki warga negaranya ialah cinta kepada negaranya.
3.
John Stuart Mill menetapkan kebajikan sebagai tujuan
dari suatu pemerintahan yang baik. Pokok keunggulan terpenting yang suatu
bentuk pemerintahan dapat memilikinya ialah memajukan kebajikan dan kecerdasan
dari rakyat.
4.
Pengembangan kebajikan terasa lebih penting bagi para
administrator pemerintahan yang sehari-hari menjalankan roda pemerintahan.
5.
Aristoteles melihat adanya kestuan diantara berbagai
kebajikan moral dalam rangka suatu keadilan umum karena keadilan umum terdiri
dari suatu kebajikan moral sepanjang kebaikan moral itu diarahkan pada
kesejahteraan masyarakat dan kebaikan dari orang lain keadilan umum yang
demikian itu merupakan kebajikan seluruhnya yang bersifat lengkap.
6.
Keadilan merupakan kebajikan moral yang utama, yang
pokok atau yang terpenting untuk diperkembangkan pada para administrator
pemerintahan sehingga setiap administrator pemerintahan dari kedudukan yang
terendah sampai jabatan yang tertinggi dapat terbina jiwa keadilan dalam budi
pikiran, hasrat kemauan, dan hati sanubarinya secara kokoh.
7.
Kebajikan merupakan ganjarannya itu sendiri karena
bilamana dimiliki. Seseorang merupakan sebuah pahala sendiri bagi diri
pribadinya dan sekaligus juga merupakan suatu kesenangan saja. Keadilan sebagai
Kebajikan Moral Bagi Pemerintah.
2. Pengertian Reformasi
Reformasi administrasi merupakan suatu upaya perbaikan
yang dilakukan secara terencana dan terus-menerus di segala aspek administrasi
yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja administrasi.
Reformasi administrasi menurut Lee
dan Samonte (Nasucha, 2004) merupakan perubahan atau inovasi secara sengaja
dibuat dan diterapkan untuk menjadikan sistem administrasi tersebut sebagai
suatu agen perubahan sosial yang lebih efektif dan sebagai suatu instrumen yang
dapat lebih menjamin adanya persamaan politik, keadaan sosial dan pertumbuhan
ekonomi. Sedangkan menurut Khan (Guzman et.al., 1992), reformasi administrasi
adalah usaha-usaha yang memacu atau membawa perubahan besar dalam sistem
birokrasi negara yang dimaksudkan untuk mentransformasikan praktik, perilaku,
dan struktur yang telah ada sebelumnya.
Caiden (1969) menyatakan reformasi
administrasi sebagai the artificial inducement of administrative transformation
against resistance, dimana dapat diartikan bahwa reformasi administrasi
merupakan keinginan atau dorongan yang dibuat agar terjadi perubahan atau
transformasi di bidang administrasi. Sedangkan Quah (Nasucha, 2004) menyatakan
bahwa reformasi administrasi publik merupakan suatu proses untuk mengubah
struktur ataupun prosedur birokrasi publik yang terlibat dengan maksud untuk
meningkatkan efektivitas organisasi dan mencapai tujuan pembangunan nasional. Mariani
(Caiden, 1969) menyatakan reformasi administrasi sebagai
La reforme
administrative doit tendre a doter le Pays d’une administration qui, tout en
garantissant a son personnel le benefice des lois sociales, agira avec le
maximum d’efficacite et de celerite, aux moindres frais pour le contribuable,
en imposant au public le minimum de gene et de formalites
a. Konsep Reformasi
Administrasi
Ada beberapa pendapat yang
dikemukakan oleh para ahli tentang Reformasi Administrasi, yaitu :
Ø Peningkatan sistemik kinerja operasional
sektor publik
secara terencana (Caiden,1991);
Ø Penerapan ide-ide baru atau kombinasi ide
guna meningkatkan sistem administrasi agar mampu melaksanakan tujuan
pembangunan nasional (Lee dan Samonte, 1970);
Ø Penggunaan otoritas dan pengaruh secara
sengaja dan terencana dalam penerapan cara-cara baru terhadap sistem
administrasi sehingga untuk merubah tujuan,
struktur dan
prosedur-nya
sehingga meningkat kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan (UNDTC,
1983);
Ø Inovasi secara terencana untuk
meningkat-kan kemampuan
sistem administrasi sebagai social agent
yang lebih efektif,
instrumen
yang lebih baik untuk menyelenggarakan demokratisasi politik, keadilan sosial,
dan pertumbuhan ekonomi, yang merupakan unsur terpenting dalam proses
nation-building dan pembangunan (Samonte, 1970);
Ø Upaya untuk mengadakan perubahan besar
dalam system birokrasi suatu negeri dengan maksud untuk mengadakan transformasi
terhadap praktek-praktek, perilaku, dan struktur yang berlaku (Khan, 1981);
Ø Proses yang terencana untuk mengadakan
perubahan dalam struktur dan prosedur birokrasi publik, serta sikap dan perilaku
para birokrat dalam upaya meningkatkan dayaguna organisasi dalam mencapai
tujuan-tujuan pembangunan (Quah, 1976).
b.
Tujuan Reformasi Administrasi
Mosher (Leemans) berpendapat bahwa
tujuan dari reformasi administrasi adalah merubah kebijakan dan program,
meningkatkan efektivitas administrasi, meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, dan melakukan antisipasi terhadap kritikan dan ancaman dari luar. Menurut
Caiden (1969), tugas dari para pelaku reformasi administrasi adalah untuk
meningkatkan kinerja administrasi bagi individual, kelompok, dan institusi dan
memberikan masukan tentang cara-cara yang dapat ditempuh untuk dapat mencapai
tujuan dengan lebih efektif, ekonomis dan lebih cepat. Dror (Zauhar, 2002)
berpendapat bahwa reformasi pada hakekatnya merupakan usaha yang berorientasi
pada tujuan yang bersifat multidimensional.
Terdapat 6 (enam) tujuan reformasi
yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, tiga tujuan reformasi
bersifat intra-administrasi yang ditujukan untuk menyempurnakan administrasi
internal dan tiga tujuan reformasi lainnya berkenaan dengan peran masyarakat di
dalam sistem administrasi.
Tujuan internal reformasi
administrasi yang dimaksud meliputi:
1.
Efisiensi administrasi, dalam arti penghematan uang,
yang dapat dicapai melalui penyederhanaan formulir, perubahan prosedur,
penghilangan duplikasi dan kegiatan organisasi metode yang lain.
2.
Penghapusan kelemahan atau penyakit administrasi
seperti korupsi, pilih kasih dan sistem teman dalam sistem politik dan
lain-lain.
3.
Pengenalan dan penggalakan sistem merit, pemakaian
PPBS, pemrosesan data melalui sistem informasi yang otomatis, peningkatan
penggunaan pengetahuan ilmiah dan lain-lain.
Sedangkan tiga tujuan lain yang berkaitan dengan
masyarakat adalah:
1.
Menyesuaikan sistem administrasi terhadap meningkatnya
keluhan masyarakat.
2.
Mengubah pembagian pekerjaan antara sistem
administrasi dan sistem politik, seperti misalnya meningkatkan otonomi
profesional dari sistem administrasi dan meningkatkan pengaruhnya pada suatu
kebijaksanaan.
3.
Mengubah hubungan antara sistem administrasi dan
penduduk, misalnya melalui relokasi pusat-pusat kekuasaan.
Pollitt
(2003) berpendapat bahwa terdapat tiga tujuan untuk melakukan reformasi antara
lain:
1.
Penghematan (to save money) Terjadinya krisis
ekonomi yang melanda dunia yang memaksa pemerintah untuk melakukan gerakan
pemangkasan anggaran (scissors movement). Pemangkasan anggaran ini
dilakukan karena meningkatnya dana yang dikeluarkan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (welfare cost) sedangkan kesempatan untuk
menarik pajak baru dari masyarakat menipis. Pemangkasan pengeluaran publik
merupakan agenda utama dari pemerintah.
2.
Keinginan untuk memperbaiki kinerja sektor publik.
Beberapa pejabat politik dan pejabat pemerintah percaya bahwa dengan
meningkatkan kinerja sektor publik, dapat membantu pemerintah untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang pada akhirnya akan
meningkatkan legitimasi pemerintah. Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara
lain dengan meningkatkan kualitas layanan dan produktivitas.
3.
Menemukan mekanisme baru bagi akuntabilitas publik,
hal ini disebabkan adanya berbagai pola berbeda yang digunakan pejabat
pemerintah dan aktor politik dalam melakukan pertanggungjawaban terhadap
publik.
Sedangkan
Hahn Been Lee (Zauhar, 2002) berpendapat bahwa terdapat tiga tujuan
dilakukannya reformasi administasi antara lain:
1.
Penyempurnaan Tatanan (improved order) Keteraturan
atau order merupakan kebajikan yang melekat dalam pemerintahan. Apabila yang
ingin dituju adalah penyempurnaan tatanan, mau tidak mau reformasi harus
diorientasikan pada penataan prosedur dan kontrol. Yang sangat diperlukan oleh
administrator dalam era baru ini adalah menghadang agen pembaru. Sebagai
konsekuensi logisnya maka birokrasi yang kokoh dan tegar perlu segera dibangun.
Tipe reformasi yang dilakukan dengan penyempurnaan tatanan disebut dengan
reformasi prosedural (procedural reform).
2.
Penyempurnaan Metode (improved method) Penyempurnaan
yang dilakukan adalah dalam bidang teknis dan metode kerja. Teknik dan metode
yang baru ini dapat dikatakan bermanfaat bila bisa mencapai tujuan-tujuan yang
lebih luas. Apabila tujuan dari reformasi administrasi diartikulasikan dengan
baik dan secara efektif diterjemahkan ke dalam berbagai program aksi yang
nyata, penyempurnaan metode akan memperbaiki implementasi program, yang pada
akhirnya akan meningkatkan realisasi pencapaian tujuan. Tipe reformasi yang
dilakukan dengan penyempurnaan metode disebut dengan reformasi teknis (technical
reform).
3.
Penyempurnaan Kinerja (improved permormance) Penyempurnaan
kinerja lebih bernuansa tujuan dalam substansi
program kerjanya dari pada penyempurnaan keteraturan
maupun penyempurnaan metode teknis administratif. Fokus utamanya adalah pada
pergeseran dari bentuk ke substansi, pergeseran dari efisiensi dan ekonomis ke
efektifitas kerja, pergeseran dari kecakapan birokrasi ke kesejahteraan
masyarakat. Tipe reformasi yang dilakukan dengan penyempurnaan kinerja disebut
dengan reformasi program (programmatic reform).
Berdasarkan beberapa pendapat para
ahli yang telah dijabarkan diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum tujuan
reformasi administrasi adalah untuk meningkatkan kinerja (performance)
organisasi.
BAB
III
PENUTUP
Kebajikan merupakan suatu tindakan
perilaku kebiasaan untuk berbuat baik-baik atau dalam kondisi ideal merupakan
perilaku yang telah dapat mengikuti tuntunan watak sejati secara alami. Selain
itu kebajikan dapat diartikan pula bahwa sesuatu yang membawa kebaikan dan
perbuatan baik. Jadi dari hasil pengertian di atas maka, pengertian dari nilai
kebajikan adalah suatu tindakan atau perilaku yang baik yang dipercayai ada
pada sesuatu dan memuaskan tiap-tiap individunya, sedangkan Reformasi
administrasi merupakan suatu upaya perbaikan yang dilakukan secara terencana
dan terus-menerus di segala aspek administrasi yang ditujukan untuk
meningkatkan kinerja administrasi, jadi dapat dilihat bahwa kebajikan dan
reformasi administrasi sangat erat kaitannya terhadap etika administrasi negara
dimana seorang administrator harus selalu mengedepankan etika dan moral dan
selalu bersikap royal terhadap tugasnya.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Sofian Effendi. 2000. Ceramah Pada Re-entry Workshop Strategic
Management of Local Authorities. Diselenggarakan oleh Badan Diklat Depdagri.