KORUPSI
KOLUSI NEPOTISME
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Peraturan perundang-undangan
(legislation) merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan
disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara
parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan
memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih. Begitu kira-kira
pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam
menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.
Gaung pemberantasan korupsi seakan
menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara,
bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun
tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia.
Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang
seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan
terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi
Anti Korupsi (KPK).
Celah kelemahan hukum selalu menjadi
senjata ampuh para pelaku korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus
Korupsi mantan Presiden Soeharto, contoh kasus yang paling anyar yang tak
kunjung memperoleh titik penyelesaian. Perspektif politik selalu mendominasi
kasus-kasus hukum di negeri sahabat Republik BBM ini. Padahal penyelesaiaan
kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana
BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya akan mampu menstimulus program
pembangunan ekonomi di Indonesia
BAB
II
ISI
ISI
A.
Pengertian
Korupsi Kolusi Nepotisme
- Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja
corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut
Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik
politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari
sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur
unsur sbb, perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau
sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Selain itu terdapat beberapa jenis tindak
pidana korupsi yang lain, diantaranya, memberi atau menerima hadiah atau janji
(penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta
dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), menerima gratifikasi
(bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan
korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik
ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi
yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas|kejahatan.
Tergantung
dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap
korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di
satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Jeremy
Pope dalam bukunya Confronting Coruption: The Element of National Integrity
System, menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang harus
menjadi keprihatinan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar dengan
konsep pemerintahan totaliter, diktator –yang meletakkan kekuasaan di tangan segelintir
orang. Namun, tidak berarti dalam sistem sosial-politik yang demokratis tidak
ada korupsi bahkan bisa lebih parah praktek korupsinya, apabila kehidupan
sosial-politiknya tolerasi bahkan memberikan ruang terhadap praktek korupsi
tumbuh subur. Korupsi juga tindakan pelanggaran hak asasi manusia, lanjut Pope.
Menurut
Dieter Frish, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Eropa. Korupsi merupakan
tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang suatu
Negara, dan menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek
pembangunan dipilih karena alasan keterlibatan modal besar, bukan pada urgensi
kepentingan publik. Korupsi selalu menyebabkan situasi sosial-ekonomi tak pasti
(uncertenly). Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi
dan peluang bisnis yang sehat. Selalu terjadi asimetris informasi dalam
kegiatan ekonomi dan bisnis. Sektor swasta sering melihat ini sebagai resiko
terbesar yang harus ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi
berapa Return of Investment (ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus
dikeluarkan akibat praktek korupsi juga sulit diprediksi. Akhiar Salmi dalam
makalahnya menjelaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk, seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Dalam
makalahnya, Salmi juga menjelaskan makna korupsi menurut Hendry Campbell Black
yang menjelaskan bahwa korupsi “ An act done with an intent to give some
advantage inconsistent with official duty and the right of others. The act of
an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station
or character to procure some benefit for himself or for another person,
contrary to duty and the right of others.” Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi
sebagaimana maksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana korupsi. Jadi perundang-undangan Republik Indonesia
mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak pidana.
Mubaryanto,
Penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya menjelaskan tentang korupsi bahwa,
salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah korupsi, yang kini
kita lunakkan menjadi “KKN”. Perubahan nama dari korupsi menjadi KKN ini
barangkali beralasan karena praktek korupsi memang terkait koneksi dan
nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak “penggantian” ini tidak
baik karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek korupsi lebih mudah
diteleransi dibandingkan dengan penggunaan kata korupsi secara gamblang dan
jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme.
2.
Kolusi
Di
dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri disaat
beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama.
Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana
keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan
mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi
berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.
Kolusi
merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara
tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan
pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya
menjadi lancar
3.
Nepotisme
Nepotisme
berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan
berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
Sebagai
contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara,
bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer
tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah
mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri,
sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
Kata
nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”.
Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup- yang telah mengambil
janji “chastity” , sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung – memberikan
kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya
sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya
menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan
“dinasti” kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja,
mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian
menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi
Paus Aleksander VI. Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik
kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III.
Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun
dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus
Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada
tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk
mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan
pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan
seorang Kardinal.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI
KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia
Menimbang: a. bahwa Penyelenggaraan Negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan
negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.
b. bahwa untuk mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh
dan penuh tanggungjawab, perlu diletakkan asas-asas penyelenggaraan negara;
c. bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan
antar-Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggaraan Negara dan
pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan
landasan hukum untuk pencegahannya;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu
dibentuk Undang-undang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG
TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME.
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang
funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara
Negara yang menaati asas-asas umum
penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme,
serta perbuatan tercela lainnya.
3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
4. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara
melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak
lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.
5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara
secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya
di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
6. Asas Umum Pemerintahan Negara Yang Baik adalah asas
yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum, untuk mewujudkan
Penyelengara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
7. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang
selanjutnya disebut Komisi Pemeriksa adalah lembaga independen yang bertugas untuk
memeriksa kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan Penyelenggara Negara untuk
mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
BAB II
PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 2
Penyelenggara
Negara meliputi:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan
7. yang berlaku; dan
8. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
BAB III
ASAS UMUM PENYELENGGARAAN NEGARA
Pasal 3
Asas-asas
umum penyelenggaraan negara meliputi:
- Asas Kepastian Hukum;
- Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
- Asas Kepentingan Umum;
- Asas Keterbukaan;
- Asas Proporsionalitas;
- Asas Profesionalitas; dan
- Asas Akuntabilitas.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 4
Setiap
Penyelenggara Negara berhak untuk:
1. menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaku;
2. menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran,
tindakan dari atasannya, ancaman hukuman, dan kritik masyarakat;
3. menyampaikan pendapat di muka umum secara
bertanggungjawab sesuai dengan wewenangnya; dan
4. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk:
1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya
sebelum memangku jabatannya;
2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan
setelah menjabat;
3. melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan
setelah menjabat;
4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan
nepotisme;
5. melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama,
tas, dan golongan;
6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan
tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi,
keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk
apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan
7. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi,
dan nepotisme serta
8. dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan
9. yang berlaku.
Pasal 6
Hak dan kewajiban Penyelenggaraan Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB V
HUBUNGAN ANTAR PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 7
- Hubungan
antar-Penyelenggara Negara dilaksanakan dengan menaati norma-norma
Kelembagaan, kesopanan, kesusilaan, dan etika yang berlandaskan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
- Hubungan
antar-Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpegang
teguh pada asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 8
1. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara
merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara
Negara yang bersih.
2. Hubungan antara Penyelenggara Negara dan masyarakat
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 9
1. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 diwujudkan dalam bentuk:
a) hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
tentang penyelenggaraan negara;
b) hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
Penyelenggara Negara; hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab
terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
c) hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b, dan c;
2) Diminta hadir dalam proses Penyelidikan, penyidikan,
dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Hubungan antar-Penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berpegang teguh pada asas-asas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KOMISI PEMERIKSA
Pasal 10
Untuk mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang bersih
dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, Presiden selaku Kepala Negara
membentuk Komisi Pemeriksa.
Pasal 11
Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
merupakan lembaga independen yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden selaku
Kepala Negara.
Pasal 12
1. Komisi Pemeriksa mempunyai fungsi untuk mencegah
praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara.
2. Dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (91), Komisi Pemeriksa dapat melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga
terkait baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pasal 13
1) Keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur
Pemerintah dan masyarakat.
2) Pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi
Pemeriksa ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 14
1) Untuk dapat diangkat sebagai Anggota Komisi Pemeriksa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 seorang calon Anggota serendahrendahnya berumur
40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya berumur 75 (tujuh puluh lima)
tahun.
2) Anggota Komisi Pemeriksa diberhentikan dalam hal:
a) meninggal dunia;
b) mengundurkan diri; atau
c) tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Anggota Komisi Pemeriksa diangkat untuk masa jabatan
selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir masa jabatannya dapat diangkat
kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
2. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara
pengangkatan serta pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
1. Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdirid dari
seorang Ketua merangkap Anggota dan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang Anggota
yang terbagi dalam 4 (empat) Sub Komisi.
2. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemeriksa dipilih oleh
dan dari para Anggota berdasarkan musyawarah mufakat.
3. Empat Sub Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terdiri atas;
a) Sub Komisi Eksekutif;
b) Sub Komisi Legislatif;
c) Sub Komisi Yudikatif; dan
d) Sub Komisi Badan Usaha Milik Negera/Badan Usaha Milik Daerah.
4. Masing-masing Anggota Sub Komisi sebagaimana dimaksud
dalam ayat
5. diangkat sesuai dengan keahliannya dan bekerja secara
kolegial.
6. Dalam melaksanakan tugasnya Komisi Pemeriksa dibantu
oleh Sekretariat Jenderal.
7. Komisi Pemeriksa berkedudukan di Ibukota negara
Republik Indonesia.
8. Wilayah kerja Komisi Pemeriksa meliputi Seluruh
wilayah negara Republik Indonesia.
9. Komisi Pemeriksa membentuk Komisi Pemeriksa di daerah
yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 16
1. Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua dan
Anggota Komisi Pemeriksa mengucapkan sumpah atau janji, sesuai dengan agamanya,
yang berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas
dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, jujur, berani, adil, tidak
membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, dan golongan dari Penyelenggara
Negara yang saya periksa dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan
sebaik-baiknya, serta bertanggungjawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat,
bangsa dan negara”. “Saya bersumpah dan berjanji bahwa saya untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas dan wewenang saya ini, tidak akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”. “Saya
bersumpah atau berjanji bahwa saya akan mempertahankan dan mengamalkan
Pancasila sebagai Dasar Negara, melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945, dan
peraturan perundang-undangan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”.
2. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diucapkan di hadapan Presiden.
Pasal 17
1.
Komisi Pemeriksa
mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan
Penyelenggara Negara.
2.
Tugas dan
wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a) melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta
kekayaan Penyelenggara Negara;
b) meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat, atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya korupsi,
kolusi, dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
c) melakukan Penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai
harta kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi,
kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
d) Mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan
saksi-saksi untuk Penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan
korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari pihak-pihak
yang terkait dengan Penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
e) Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan
sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh
dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara
Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.
Pemeriksaan
kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
sebelum, selama, dan setelah yang bersangkutan menjabat.
2.
Ketentuan
mengenai tata cara pemeriksaan kekayaan Penyelenggara
3. Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
1. hasil pemeriksanaan Komisi Pemeriksa sebagaimana
dimaksud dalam
2. Pasal 17 disampaikan kepada Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
3. Khusus hasil pemeriksaan atas kekayaan Penyelenggara
Negara yang dilakukan oleh Sub Komisi Yudikatif, juga disampaikan kepada Mahkamah
Agung.
4. Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
5. ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau
nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk
ditindak lanjuti.
Pasal 19
1.
Pemantauan dan
evaluasi atas pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa dilakukan oleh
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
2.
Ketentuan mengenai
tata cara pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 20
1. Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 angka 1, 2, 3, 5, atau 6 dikenakan sanksi administratif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi
perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi
Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12
(dua
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah).
Pasal 22
Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi
Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah)
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Dalam waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak
Undang-undang ini
mulai berlaku setiap Penyelenggara Negara harus
melaporkan dan mengumumkan harta kekayaannya dan bersedia dilakukan pemeriksaan
terhadap kekayaannya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Undang-undang ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
PROF. DR. H. MULADI, S.H.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA
YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN
NEPOTISME
I.
UMUM
1. Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan
cita-cita perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa yang sangat penting dalam
pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat para Penyelenggara
Negara dan Pemimpin pemerintahan. Dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) tahun,
Penyelenggara Negara tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal,
sehingga penyelenggara negara tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal
itu terjadi karena adanya pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab pada
Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Di
samping itu, masyarakatpun belum sepenuhnya berperan serta dalam menjalankan
fungsi kontrol sosial yang efektif terhadap penyelenggaraan negara. Pemusatan
kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab tersebut tidak hanya berdampak negatif
di bidang politik, namun juga dibidang ekonomi dan moneter, antara lain
terjadinya praktek penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok
tertentu dan memberi peluang terhadap tumbuhnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Tindak
pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme tersebut tidak hanya dilakukan
oleh Penyelenggara Negara, antar- Penyelenggara Negara, melainkan juga
Penyelenggara Negara dengan pihak lain seperti keluarga kroni, dan para
pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, serta membahayakan eksistensi negara. Dalam rangka
penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sesuai tuntutan reformasi
diperlukan kesamaan visi, persepsi, dan misi dari Seluruh Penyelenggara Negara
dan masyarakat. Kesamaan visi, persepsi, dan misi tersebut harus sejalan dengan
tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya Penyelenggara Negara
yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh
rasa tanggung jawab, yang dilaksanakan secara efektif, efisien, bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme, sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
2.
Undang-undang
ini memuat tentang ketentuan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang khusus
ditujukan kepada para Penyelenggara Negara dan pejabat lain yang memiliki
fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.
Undang-undang
ini merupakan bagian atau subsistem dari peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan penegakan hukum terhadap perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sasaran pokok Undang-undang ini adalah para Penyelenggara Negara yang meliputi
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi
Negara, Menteri, Gubernur, Hakim, Pejabat Negara dan atau Pejabat Lain yang
memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.
Untuk mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme, dalam Undangundang ini ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan negara
yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas
kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas
profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
5. Pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam
Undangundang ini dimaksud untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka
mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi,
dan nepotisme, Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki, masyarakat diharapkan
dapat lebih bergairah melaksanakan kontrol sosial secara optimal terhadap penyelenggaraan
negara, dengan tetap mentaati rambu-rambu hukum yang berlaku.
6. Agar Undang-undang ini dapat mencapai sasaran secara
efektif maka diatur pembentukan Komisi Pemeriksa yang bertugas dan berwenang
melakukan pemeriksaan harta kekayaan pejabat negara sebelum, selama, dan
setelah menjabat, termasuk meminta keterangan baik dari mantan pejabat negara, keluarga,
dan kroninya, maupun para pengusaha, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga
tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Sususnan keanggotaan Komisi Pemeriksa
terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat mencerminkan independensi atau
kemandirian dari lembaga ini.
7. Undang-undang ini mengatur pula kewajiban para
Penyelenggara Negara, antara lain mengumumkan dan melaporkan harta kekayaannya
sebelum dan setelah menjabat. Ketentuan tentang sanksi dalam Undang-undang ini
berlaku bagi Penyelenggara Negara, masyarakat, dan Komisi Pemeriksa sebagai
upaya preventif dan represif serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya
ketentuan tentang asas-asas umum penyelenggaraan negara, hak dan kewajiban
Penyelenggara Negara, dan ketentuan lainnya sehingga dapat diharapkan memperkuat
norma Kelembagaan, moralitas individu, dan sosial.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Yang dimaksud dengan “Gubernur” adalah wakil
Pemerintah
Pusat di daerah.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “Hakim” dalam ketentuan ini
meliputi
Hakim di semua tingkatan Peradilan.
Angka 6
Yang dimaksud dengan “Pejabat negara yang lain” dalam ketentuan ini
misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya.
Angka 7
Yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah
pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraan negara
rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:
- Direksi,
Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara
dan Badan Usaha MilikDaerah;
- Pimpinan Bank
Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
- Pimpinan
Perguruan Tinggi Negeri; Pejabat
Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
- Jaksa;
- Penyidik;
- Panitera
Pengadilan; dan
- Pemimpin
dan bendaharawan proyek.
Pasal 3
Angka 1
Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas dalam negara hukum
yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara
Angka 2
Yang dimaksud dengan “Asas Tertib Penyelenggaraan Negara” adalah asas yang
menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan negara.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “Asas Kepentingan Umum” adalah yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “Asas Keterbukaan” adalah asas yang membuka diri
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan
atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “Asas Proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
Angka 6
Yang dimaksud dengan “Asas Profesionalitas” adalah asas yang mengutamakan
keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Angka 7
Yang dimaksud dengan “Asas Akuntabilitas” adalah asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara
Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 4
Pelaksanaan hak Penyelenggara Negara yang ditentukan dalam
Pasal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28
Undang-Undang Dasar 1945 serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 5
Dalam hal Penyelenggara Negara dijabat oleh anggota Tentara Nasional
Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka terhadap
pejabat tersebut berlaku ketentuan dalam Undang-undang ini.
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Apabila Penyelenggara Negara dengan sengaja menghalanghalangi
dalam pendataan kekayaannya, maka dikenakan sanksi ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Apabila Penyelenggara Negara yang didata kekayaannya oleh Komisi Pemeriksa
dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, maka dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan peratura perundang-undangan yang berlaku.
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “hak dan kewajiban Penyelenggara Negara dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945” adalah hak dan kewajiban yang
dilaksanakan dengan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang
teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, adalah peran
aktif masyarakat untuk ikut serta mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang bersih
dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang dilaksanakan dengan menaati
norma hukum, moral, dan sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat (1) huruf d angka 2) merupakan suatu kewajiban bagi
masyarakat yang oleh Undang-undang ini diminta hadir dalam proses Penyelidikan,
penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi
ahli. Apabila oleh pihak yang berwenang dipanggil sebagai saksi pelapor, saksi,
atau saksi ahli dengan sengaja tidak hadir, maka dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Pada dasarnya masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang
penyelenggaraan negara, namun hak tersebut tetap harus memperhatikan ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku yang memberikan batasan untuk masalah-masalah
tertentu dijamin kerahasiaannya, antara lain yang dijamin oleh Undang-undang
tentang Pos dan Undangundang tentang Perbankan.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “lembaga independen” dalam Pasal ini adalah
lembaga yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari pengaruh
kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga negara lainnya.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa dalam ketentuan ini, harus berjumlah
ganjil. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengambil keputusan dengan suara terbanyak
apabila tidak dapat dicapai pengambilan keputusan dengan musyawarah
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan,
anggota sub-sub komisi harus berintegrasi tinggi, memiliki keahlian, dan
professional di bidangnya. Dalam hal terdapat dugaan adanya Keterlibatan pihak
lain seperti keluarga, kroni, dan atau pihak lain dalam praktek korupsi,
kolusi, atau nepotisme, maka bagi keluarga, kroni, dan atau pihak lain tersebut
dikenakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Sekretariat Jenderal bertugas membantu di bidang pelayanan administrasi
untuk kelancaran pelaksanaan tugas Komisi Pemeriksa.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Pembentukan Komisi Pemeriksa di daerah dimaksudkan untuk membantu tugas
Komisi Pemeriksa di daerah Keanggotaan Komisi Pemeriksa di daerah perlu
terlebih dahulu mendapatkan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ayat (2) ini pada dasarnya berlaku pula bagi Komisi Pemeriksa di
daerah
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempertegas atau menegaskan
perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pemeriksa selaku pemeriksa harta
kekayaan Penyelenggara Negara dan fungsi Kepolisian dan kejaksanaan. Fungsi pemeriksaan
yang dilakukan oleh Komisi Pemeriksa sebelum seseorang diangkat selaku pejabat
negara adalah bersifat pendataan, sedangkan pemeriksaan yang dilakukan sesudah Pejabat
Negara selesai menjalankan jabatannya bersifat evaluasi untuk menentukan ada
atau tidaknya petunjuk tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Yang dimaksud
dengan “petunjuk” dalam Pasal ini adalah faktafakta atau data yang menunjukkan
adanya unsur-unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Yang maksud dengan “instansi
yang berwenang” adalah Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan
Agung, dan Kepolisian.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3851
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan
dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi;
c. bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
dalam
masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang- undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam
mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b,
dan c perlu dibentuk Undang-undang yang baru tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
Mengingat : 1.
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
- Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
Dengan
Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
- Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan
yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
- Pegawai Negeri adalah meliputi :
a.
pegawai negeri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;
b.
pegawai negeri
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
c.
orang yang
menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d.
orang yang
menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuandari keuangan
negara atau daerah; atau
e.
orang yang
menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari negara atau masyarakat.
- Setiap orang adalah orang perseorangan atau
termasuk korporasi.
BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Pasal 4
Pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pasal 5
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak
Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 6
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 210 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 7
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 8
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 10
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 11
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 418Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan
pidana penjara palingsingkat 1(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh jutarupiah).
Pasal 12
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada
pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah).
Pasal 14
Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang
yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang
tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang ini.
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan,
atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan
Pasal 14.
Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia
yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi`
tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14.
Pasal 17
Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal
sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana
tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 18
1.
Selain pidana
tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai
pidana tambahan adalah :
- perampasan
barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan,
begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
- pembayaran
uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
- penutupan
seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
- pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah
kepada terpidana.
2.
Jika terpidana
tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling
lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
3.
Dalam hal
terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana
penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut
sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Pasal 19
1.
Putusan
pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak
dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akandirugikan.
2.
Dalam hal
putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga barang
pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan
surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu paling lambat
2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk
umum.
3.
Pengajuan surat
keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
4.
Dalam keadaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim meminta keterangan penuntut umum dan
pihak yang berkepentingan.
5.
Penetapan hakim
atas surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dimintakan
kasasi ke Mahkaman Agung oleh pemohon atau penuntut umum.
Pasal 20
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau
atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan
terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
2. Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila
tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan
kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu
korporasi, maka korporasi
tersebut
diwakili oleh pengurus.
4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi
menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya
pengurus tersebut dibawa ke
sidang pengadilan.
6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap
korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan
tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat
pengurus berkantor.
7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi
hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu
pertiga).
BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN
DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi,
atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun
para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 22
Pasal 23
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,000 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal
429 atau Pasal 430 Kitab Undangundang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan
atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 24
BAB IV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN,
DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 25
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara
lain guna penyelesaian secepatnya.
Pasal 26
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 27
Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit
pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa
Agung.
Pasal 28
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan
atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
tersangka.
Pasal 29
1. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang
meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa.
2. Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi
permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap.
4. Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta
kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa
yang diduga hasil dari korupsi.
5. Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau
terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut
umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran.
Pasal 30
Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat
dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai
mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.
Pasal 31
1. Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan,
saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang
menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan
dapat diketahuinya identitas pelapor.
2. Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
Pasal 32
1. Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa
satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara
Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk mengajukan gugatan.
2. Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi
tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
Pasal 33
Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat
dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan
untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 34
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan
pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita
acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 35
1. Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi
atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami,
anak, dan cucu dari terdakwa.
2. Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka
menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa.
3. Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
mereka dapat memberikan keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
Pasal 36
Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan
martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama
yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.
Pasal 37
1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi.
2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai
hal yang menguntungkan baginya.
3. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan.
4. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang
kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambah
kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat
bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
5. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya.
Pasal 38
1. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan
tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat
diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
2. Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya
sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala
keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya
dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
3. Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa
diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor
Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
4. Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas
putusan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
5. Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan
dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah
melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum
menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.
6. Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5) tidak dapat
dimohonkan upaya banding.
7. Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 39
Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan
bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
Pasal 40
Dalam hal terdapat cukup alasan untuk mengajukan
perkara korupsi di lingkungan
Peradilan Militer, maka ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 123 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer tidak dapat diberlakukan.
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 41
1. Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diwujudkan dalam bentuk :
- hak
mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana korupsi;
- hak untuk
memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
- hak
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum yang menangani
perkara tindak pidana korupsi;
- hak untuk
memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada
penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1. melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b, dan c;
2. diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan,
dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
4. Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau
ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya.
5. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta
masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
1. Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota
masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau
pengungkapan tindak pidana korupsi.
2. Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 43
1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak
Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai
tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terdiri atas unsur
Pemerintah dan unsur
masyarakat.
4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi,
tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1). ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-undang.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 45 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR:
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
UMUM
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia
Indonesia seutuhnya dan
masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur,
sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut,
perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya.
Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat
untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin maningkat,
karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian
negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya
krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Undang-undang ini
dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi
dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dalam rangka
mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap
bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan
negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,
termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban
yang timbul karena :
- berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara,
baik di tingkat pusat maupun di daerah;
- berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan
modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian
Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang
didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di
daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan rakyat. Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi
penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih
dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini
dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatanperbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara “melawan hukum”
dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut,
pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup
perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat
harus dituntut dan dipidana. Dalam Undang-undang ini, tindak pidana
korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini
sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut
dalam Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara,
pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap
dipidana. Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang ini adalah
korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan
sanksi. Hal ini tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. Dalam
rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan
Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus,
pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan
pidana. Selain itu Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku
tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa
uang pengganti kerugian negara. Undang-undang ini juga memperluas
pengertian Pegawai Negeri, yang antara lain adalah orang yang menerima
gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari
Negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa
yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar,
harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan
bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hal baru lainnya adalah dalam hal terjadi tindak pidana
korupsi yang sulit pembuktiannya, maka tim gabungan yang dikoordinasikan
oleh Jaksa Agung, sedangkan proses penyidikan dan penuntutan dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak
pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari tersangka
atau terdakwa. Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan tindak pidana korupsi, Undang-undang ini mengatur kewenangan
penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan
perkara untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan keuangan
tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan hal tersebut kepada
Gubernur Bank Indonesia. Di samping itu Undang-undang ini juga menerapkan
pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan
harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan,
dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Undang-undang
ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat berperan
serta untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,
dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan perlindungan
hukum dan penghargaan. Selain memberikan peran serta masyarakat tersebut,
Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang akan diatur dalam Undang-undang tersendiri
dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini
diundangkan. Keanggotaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat. Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti dengan Undang-undang
ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum
frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak
pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup
dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan
sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan
undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis
ekonomi dan moneter.
Pasal 3
Kata “dapat” dalam ketentuan
ini diartikan sama dengan Penjelasan Pasal
Pasal 4
Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap
pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Dalam ketentuan ini, frasa “Angkatan Laut atau Angkatan Darat” yang dimuat
dalam Pasal 388 KUHP harus dibaca “Tentara Nasional Indonesia”.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku dalam Undang-undang ini”
adalah baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil.
Pasal 15
Ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan
dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari
ancaman pidananya.
Pasal 16
Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi yang bersifat tradisional atau lintas batas teritorial sehingga segala
bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antar
negara dapat dicegah secara optimal dan efektif. Yang dimaksud dengan “bantuan,
kesempatan, sarana, atau keterangan” dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Yang dimaksud dengan “penutupan seluruh atau sebagian perusahaan” adalah pencabutan
izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan
pengadilan.
huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim setelah eksekusi, maka
negara berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil
lelang atas barang tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi
yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan
anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan
ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapatdikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang oleh Undang-undang
ditentukan untuk didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tersebut
diserahkan pada tiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan.
Pasal 26
Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan
penyadapan (wiretaping)
Pasal 27
Yang dimaksud dengan “tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya”, antara
lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal,
perdagangan dan industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan
keuangan yang :
a. bersifat lintas sektoral;
b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih; atau
c. dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus
sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
kolusi, dan Nepotisme.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan
penuntutan, pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memperhatikan
koordinasi lintas sektoral dengan Instansi terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan”rekening simpanan” adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat
kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito,
sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu,
termasuk penitipan (custodian) dan penyimpanan barang atau surat berharga (safedeposit
box). Rekening simpanan yang diblokir adalah termasuk bunga, deviden, bunga
obligasi, atau keuntungan lain yang diperoleh dari simpanan tersebut.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada penyidik dalam
rangka mempercepat proses penyidikan yang pada dasarnya di dalam Kitab
Undangundang Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa atau menyita surat
harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelapor” dalam ketentuan ini adalah orang yang memberi
informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi
dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara”
adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan
instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “putusan bebas” adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan “ahli waris” dalam Pasal ini adalah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Yang dimaksud dengan “petugas agama” dalam Pasal ini adalah hanya petugas
agama Katholik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang dipercayakan untuk
menyimpan rahasia.
Pasal 37
Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib
membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini
terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti
melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang
terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.
Pasal 38
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara
sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh
hakim.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “putusan” yang diumumkan atau diberitahukan adalah
petikan surat putusan pengadilan
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Ketentuan dalam ayat ini, dimaksudkan pula untuk menyelamatkan kekayaan
negara.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga yang
beritikad baik. Batasan waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksudkan untuk menjamin
dilaksanakannya eksekusi terhadap barang-barang yang memang berasal dari tindak
pidana korupsi.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “mengkoordinasikan” adalah kewenangan Jaksa Agung
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1991 tentang Kejaksaan.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Perlindungan hukum terhadap pelapor dimaksudkan untuk memberikan rasa aman
bagi pelapor yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Penghargaan kepada masyarakat yang berjasa dalam mengungkap tindak p idana korupsi dengan disertai bukti-bukti,
diberikan penghargaan baik berupa piagam maupun premi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 3874
Casino Review and Bonus - JTM Hub
BalasHapusIn the casino industry, you are assured that you'll 안성 출장샵 see more and more games available. You will 경주 출장안마 see bonus 김포 출장마사지 games 충청북도 출장샵 like blackjack, roulette and a 안성 출장샵 variety of table
mmorpg
BalasHapusınstagram takipci satin al
tiktok jeton hilesi
tiktok jeton hilesi
antalya saç ekimi
referans kimliği nedir
İnstagram Takipçi Satın Al
metin pvp
instagram takipçi satın al
perde modelleri
BalasHapussms onay
TÜRK TELEKOM MOBİL ÖDEME BOZDURMA
nft nasıl alınır
ankara evden eve nakliyat
trafik sigortası
Dedektör
WEB SİTE KURMAK
ASK KİTAPLARİ
try these out horse dildo,dildos,vibrators,sex toys,wholesale sex toys,dildo,sex toys,wholesale sex toys,dildos click to read
BalasHapusjoya shoes 260g5xdbcd914 joya sko danmark,joya sko norge,joya skor stockholm,joya cipő,joya zapatos,joya schoenen,joya scarpe,joya chaussures,joya schuhe,joya schuhe deutschland joya shoes 084b0juseq267
BalasHapus