BAB I
PEMBANGUNAN
DI INDONESIA
Latar
Belakang Masalah
Pembangunan
ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita
dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertaidengan perubahan
fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara.
Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari
pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan ekonomi mendorong
pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses
pembangunan ekonomi.
Yang
dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi
suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional.
Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi
peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan
indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi
keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar
pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan
ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi
juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input
pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, dan
teknik. Reformasi sistem politik di Indonesia
baik yang bersifat kelembagaan maupun perundangan memunculkan model perencanaan
dan kebijakan pembangunan nasional yang baru mengantikan model perencanaan dan
kebijakan lama. Muara dari reformasi ini adalah keinginan untuk melakukan
perbaikan-perbaikan atas kelemahan-kelemahan yang timbul dari praktik
perencanaan pembangunan maupun kebijakan pembangunan yang sebelumnya pernah
diterapkan demi pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat sebagaimana di amanatkan
oleh konstitusi. Sumberdaya
manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni
bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta
berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan.
Ekonomi
abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses
kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia
menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan
batas teritorial negara. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa
Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam
globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan internasional akan
terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut
World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh
negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35),
Filipina (38), dan Thailand (40). Perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi yang akan
dihadapi bangsa Indonesia antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut:
Produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran
agar biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah
buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai
ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif.
BAB II
GAMBARAN UMUN DAERAH
dan ISU STRATEGI
Gambaran Umum Kabupaten Bintan
1. Kondisi
Fisik Lingkungan
Secara keseluruhan luas wilayah Kabupaten Bintan adalah 87.717,84 km2
terdiri atas wilayah daratan seluas 1.319,51 km2 (1,50%) dan wilayah laut
seluas 86.398,33 km2 (98,50%). Tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Bintan
melakukan pemekaran wilayahnya melalui Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2007
tentang Pembentukan Kelurahan Toapaya Asri di Kecamatan Gunung Kijang, Desa
Dendun, Desa Air Glubi di Kecamatan Bintan Timur, Kelurahan Tanjung Permai,
Kelurahan Tanjung Uban Timur di Kecamatan Bintan Utara, Kelurahan Tembeling
Tanjung di Kecamatan Bintan Teluk Bintan, Desa Kukup dan Desa Pengikik di
Kecamatan Tambelan dan Kelurahan Kota Baru di Kecamatan Teluk Sebong.
Selain itu juga dilakukan Pemekaran Kecamatan melalui Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Toapaya, Kecamatan Mantang,
Kecamatan Bintan Pesisir dan Kecamatan Seri Kuala Lobam. Dengan terjadinya pemekaran wilayah maka
jumlah Kecamatan yang terdapat di wilayah Kabupaten Bintan bertambah dari 6
(enam) Kecamatan menjadi 10 (sepuluh) kecamatan, yaitu Kecamatan Teluk Bintan,
Sri Kuala Lobam, Bintan Utara, Teluk Sebong, Bintan Timur, Bintan Pesisir,
Mantang, Gunung Kijang, Toapaya, dan Tambelan. Secara lebih
jelas, orientasi wilayah dan batas administrasi Kabupaten Bintan sebagai
berikut:
§ Sebelah
Utara : Kabupaten Anambas
§ Sebelah
Selatan : Kabupaten Lingga
§ Sebelah
Barat : Kota Batam dan Kota Tanjungpinang
§ Sebelah
Timur : Provinsi Kalimantan Barat
Kabupaten Bintan memiliki
240 buah pulau besar dan kecil. Hanya 49 buah diantaranya yang sudah
dihuni, sedangkan sisanya walaupun belum berpenghuni namun sudah dimanfaatkan
untuk kegiatan pertanian, khususnya usaha perkebunan. Dilihat dari
topografinya, pulau-pulau di Kabupaten Bintan sangat bervariasi. Umumnya
dibentuk oleh perbukitan rendah membundar yang dikelilingi oleh daerah
rawa-rawa. Wilayah Kabupaten Bintan merupakan bagian paparan kontingental yang
dikenal dengan nama Paparan Sunda.
Morfologi Pulau Bintan tidak memiliki
perbedaan ketinggian yang menyolok yaitu antara 0-350 meter dari permukaan laut. Penonjolan puncak-puncak
bukit antara lain Gunung Bintan 348 meter, Gunung Bintan Kecil 196 meter.
Bukit-bukit lainnya merupakan bukit-bukit dengan ketinggian di bawah 100 meter. Bukit-bukit tersebut
merupakan daerah hulu-hulu sungai yang sebagian besar mengalir ke arah Utara dan Selatan dengan pola
sub paralel, sedangkan pola anak-anak sungainya berpola sub radial.
Sungai-sungai itu umumnya pendek-pendek, dangkal dan tidak lebar.
2. Iklim dan Kualitas Udara
Secara geografis, wilayah Kabupaten
Bintan terletak antara 0°06’17” - 1° 34’52” Lintang
Utara dan 104°12’47”
Bujur Timur di sebelah Barat - 108° 02’27” Bujur
Timur di sebelah Timur. Pada umumnya wilayah Kabupaten Bintan beriklim tropis.
Selama periode Tahun 2005-2010
temperatur rata-rata terendah 23,9o
C
dan tertinggi rata-rata 31,8o C dengan kelembaban udara sekitar
85%.
Kabupaten Bintan mempunyai 4 macam perubahan arah
angin yaitu :
§ Bulan
Desember-Pebruari : Angin Utara
§ Bulan
Maret-Mei : Angin Timur
§ Bulan
Juni-Agustus : Angin Selatan
§ Bulan September-November : Angin
Barat
Kecepatan angin tertinggi adalah 9 knot dan terjadi pada bulan Desember-Januari, sedangkan kecepatan angin terendah pada
bulan Maret-Mei.
BAB III
PERENCANAAN, ORIENTASI, dan PENYUSUNAN PROGRAM
PEMBANGUNAN NASIONAL
A. Perencanaan Pembangunan di
Indonesia
Sejak otonomi daerah digulirkan tahun 2001 lalu, arah dan tujuan
pembangunan daerah tidak lagi ditentukan lewat kebijakan pemerintah pusat.
Corak penentuan arah dan tujuan pembangunan tak lagi bersifat sentralistik,
namun desentralistik yang mendelegasikan kewenangan pembangunan lebih besar
kepada pemerintah daerah, baik propinsi, kabupaten dan kota. Opsi untuk memilih
desentralisasi adalah konsekuensi dari pilihan politik, di mana pergerakan
pembangunan harus linear dengan aspirasi masyarakat daerah. Delegasi kewenangan
penentuan arah pembangunan dari sentralistik menuju desentralistik itu
dikukuhkan lewat UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan. Dalam proses selanjutnya, lewat
evaluasi dan kajian pelaksanaan otonomi daerah, landasan hukum yang memberikan
mandat kewenangan kepada pemerintah daerah itu direvisi dengan disahkan UU
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Delegasi kewenangan dari pusat ke daerah itu diharapkan dapat
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan birokrasi di
daerah dengan model pembangunan yang lebih memberdayakan peran serta
masyarakat. pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat memaksimalkan pelayanan
publik, mengakomodasi partisipasi masyarakat, mengurangi beban pemerintah
puast, mendorong kemandirian serta penyusunan program yang lebih sesuai dengan
kebutuhan daerah. (Ryaas Rasyid: 1998).
Rasyid menekankan pentingnya menjadikan kebutuhan dan kondisi masyarakat sebagai inspirasi utama dalam setiap kegiatan, program pembangunan pemerintah daerah. Pendapat itu sejalan dengan pemikiran Harry Hikmat (2009) yang menyatakan, fokus pelaksanaan otonomi daerah pada pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat, dunia usaha, pemerintah daerah. Kebijakan, strategi dan program pembangunan harus bertumpu pada upaya pemberdayaan potensi lokal atau regional.
Rasyid menekankan pentingnya menjadikan kebutuhan dan kondisi masyarakat sebagai inspirasi utama dalam setiap kegiatan, program pembangunan pemerintah daerah. Pendapat itu sejalan dengan pemikiran Harry Hikmat (2009) yang menyatakan, fokus pelaksanaan otonomi daerah pada pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat, dunia usaha, pemerintah daerah. Kebijakan, strategi dan program pembangunan harus bertumpu pada upaya pemberdayaan potensi lokal atau regional.
Dalam konteks ini, sukses atau tidaknya pelaksanaan otonomi
daerah sangat tergantung dengan keseimbangan peran tiga pilar yaitu pemerintah,
dunia usaha atau swasta dan masyarakat. Partisipasi aktif dari semua elemen
yang ada di daerah itu sangat dibutuhkan agar perencanaan dan pelaksanaan
program pembangunan daerah benar-benar mencerminkan kebutuhan daerah, berkaitan
langsung dengan permasalahan yang di hadapi daerah, serta didukung oleh
partisipasi dari pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
Pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah diharapkan dapat mempercepat pembangunan di daerah, dengan lebih mengoptimalisasikan peran birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada publik dan dan memberdayakan kekuatan masyarakat sebagai modal sosial (social capital) yang sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan.
Pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah diharapkan dapat mempercepat pembangunan di daerah, dengan lebih mengoptimalisasikan peran birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada publik dan dan memberdayakan kekuatan masyarakat sebagai modal sosial (social capital) yang sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan.
Dalam konteks ini, aparatur pemerintah di daerah dituntut
untuk lebih kapabel, inovatif dan professional dalam mendesain perencanaan dan
program pembangunan. Pemerintah daerah maupun DPRD sebagai pengambil kebijakan
(policy maker) harus produktif memformulasikan aspirasi masyarakatnya dan
mewujudkan aspirasi tersebut dalam bentuk perencanaan dan program-program
pembangunan. Perencanaan maupun program-program pembangunan yang disusun dan
dilaksanakan diharapkan dapat memobilisasi partisipasi masyarakat dan
mengarahkan potensi sosial dalam menghasilkan produk unggulan yang dapat
memberikan kontribusi positif bagi pembangunan daerah.
Pengambil kebijakan juga harus kreatif mengidentifikasi semua potensi dan memberdayakannya sebagai modal pembangunan. Berangkat dari pengalaman selama otonomi daerah dilaksanakan sejak tahun 2001 lalu, tentu banyak hal yang dapat dievaluasi, dengan mengkaji sejauh mana keberhasilan atau kegagalan yang dihadapi oleh birokrasi di daerah dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Indikator keberhasilan atau kegagalan tujuan pembangunan di era otonomi daerah dapat dilihat dari sejauhmana efektifitas, efisiensi dari pelaksanaan perencanaan dan program pembangunan.
Pengambil kebijakan juga harus kreatif mengidentifikasi semua potensi dan memberdayakannya sebagai modal pembangunan. Berangkat dari pengalaman selama otonomi daerah dilaksanakan sejak tahun 2001 lalu, tentu banyak hal yang dapat dievaluasi, dengan mengkaji sejauh mana keberhasilan atau kegagalan yang dihadapi oleh birokrasi di daerah dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Indikator keberhasilan atau kegagalan tujuan pembangunan di era otonomi daerah dapat dilihat dari sejauhmana efektifitas, efisiensi dari pelaksanaan perencanaan dan program pembangunan.
Fakta menunjukan, pemerintah daerah dihadapai keterbatasan
akan kompetensinya dalam merancang maupun melaksanakan perencanaan dan program
pembangunan. Fakta itu bisa terlihat dari masalah yang muncul dalam pelaksanaan
kebijakan dalam rangka mendapatkan sumber-sumber keuangan untuk menopang
program pembangunan yang telah dirancangnya. Dalam kondisi ini, pemerintah
daerah banyak memberlakukan peraturan daerah (Perda) yang bermasalah yang
menuai resistensi sejumlah pihak seperti swasta, investor dan masyarakat.
Menurut catatan Departemen Dalam Negeri, sebanyak 706 Perda bermasalah telah
diserahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk diawasi. Pada
prinsipnya, Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Perda-perda bermasalah itu pada akhirnya mengakibatkan investasi ke daerah
menjadi macet. (Gamawan Fauzi: 2009).
Simanjuntak (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa respon pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapat asli daerah (PAD) hingga berhasil menghimpun dana yang kurang lebih dari 30 persen dari anggarannya, tidak terlalu memikirkan dampak negatif dari pungutan PAD. Kegiatan untuk meningkatkan PAD memang adalah upaya yang sah sepanjang tidak menyalahi UU dan peraturan. Namun, perlu disadari adanya kemungkinan imbas negatif (crowding out), tujuan jangka pendek terhadap tujuan jang panjang. Kalau ini tidak disadari tidak mustahil akan menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi (Manggara Tambunan: 2010). Belum lagi ketidakmampuan aparatur daerah dalam mendorong program pelayanan kepada publik. Sebagai ilustrasi mengenai buruknya pelayanan birokrasi di daerah kepada publik dapat dilihat dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) yang diumumkan, 24 September 2007 lalu. Survei itu menunjukan jika proses perizinan untuk mendirikan sebuah usaha membutuhkan waktu yang lama. Untuk mendapatkan izin membuka usaha dari pemerintah, rata-rata membutuhkan waktu 86 hari. Proses birokrasi yang berbelit-belit dan memakan waktu yang lama itu kadang juga memunculkan biaya ekonomi tinggi. Seharusnya, pemerintah menyadari pentingnya menciptakan iklim investasi yang baik dengan memangkas perizinan yang berbelit-belit, serta menciptakan efisiensi birokrasi agar memicu investasi untuk menopang pembangunan daerah.
Simanjuntak (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa respon pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapat asli daerah (PAD) hingga berhasil menghimpun dana yang kurang lebih dari 30 persen dari anggarannya, tidak terlalu memikirkan dampak negatif dari pungutan PAD. Kegiatan untuk meningkatkan PAD memang adalah upaya yang sah sepanjang tidak menyalahi UU dan peraturan. Namun, perlu disadari adanya kemungkinan imbas negatif (crowding out), tujuan jangka pendek terhadap tujuan jang panjang. Kalau ini tidak disadari tidak mustahil akan menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi (Manggara Tambunan: 2010). Belum lagi ketidakmampuan aparatur daerah dalam mendorong program pelayanan kepada publik. Sebagai ilustrasi mengenai buruknya pelayanan birokrasi di daerah kepada publik dapat dilihat dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) yang diumumkan, 24 September 2007 lalu. Survei itu menunjukan jika proses perizinan untuk mendirikan sebuah usaha membutuhkan waktu yang lama. Untuk mendapatkan izin membuka usaha dari pemerintah, rata-rata membutuhkan waktu 86 hari. Proses birokrasi yang berbelit-belit dan memakan waktu yang lama itu kadang juga memunculkan biaya ekonomi tinggi. Seharusnya, pemerintah menyadari pentingnya menciptakan iklim investasi yang baik dengan memangkas perizinan yang berbelit-belit, serta menciptakan efisiensi birokrasi agar memicu investasi untuk menopang pembangunan daerah.
Jika membandingkan dengan Thailand, Malaysia, Filipina, dan
Vietnam, Indonesia masih kalah jauh dari sisi pelayanan pemberian izin. Waktu
perizinan usaha di Thailand jauh lebih cepat dibandingkan Indonesia. Di
Thailand, hanya butuh waktu 33 hari untuk melewati delapan prosedur perizinan.
Sementara biaya yang dibebankan hanya 5,8 persen dari pendapatan per kapita. Di
Malaysia hanya membutuhkan sembilan prosedur, 30 hari dan 19,7 persen
pendapatan per kapita untuk memulai usaha.
Orientasi mendapatkan sumber-sumber keuangan juga
menyebabkan munculnya praktik eksploitasi yang mendegradasi eksistensi
lingkungan di era otonomi daerah. Pemerintah daerah dengan mudahnya memberikan izin
kepada perusahaan tambang untuk Izin Penambangan Daerah tanpa mempertimbangkan
kemampuan dan tanggungjawab lingkungan dan sosial perusahaan yang telah rusak
akibat eksploitasi pertambangan. Ketidakmampuan pemerintah daerah dalam
mendesain perencanaan dan program pembangunan itu pada akhirnya memaksa
pemerintah daerah tetap tergantung dengan kucuran uang dari pemerintah pusat.
Akibatnya, anggaran negara di era otonomi daerah makin terkuras untuk untuk
membiayai sejumlah daerah baru—yang sejak tahun 1999 hingga sekarang, mencapai
524 daerah, yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota.
Untuk mendukung penyediaan sarana dan prasarana
pemerintahan di daerah otonom baru, alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang
sarana dan prasarana pemerintahan mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Pada tahun 2003, beban DAK yang harus dialokasikan APBN di 22 daerah mencapai
sebesar Rp88 miliar. Sementara pada tahun 2008, dengan keharusan menyediakan
sarana dan prasarana pemerintahan di 106 daerah, beban DAK meningkat menjadi
sebesar Rp362 miliar. Peningkatan signifikan juga terjadi pada pengalokasian
Dana Alokasi Umum (DAU). Pada tahun 2003 dengan jumlah daerah otonom penerima
DAU sebanyak 370 daerah, beban anggaran DAU yang harus disediakan APBN sebesar
Rp76,9 triliun. Sementara pada tahun 2008 dengan adanya penambahan jumlah
daerah otonom penerima DAU sebanyak 81 daerah, beban anggaran DAU bertambah
menjadi sebesar Rp179,5 triliun. Belum lagi keperluan anggaran untuk membiayai
kebutuhan instansi vertikal. Pada tahun 2005 anggaran biaya instansi vertikal
di daerah otonom baru sebesar Rp8.714 miliar, sementara pada tahun 2008
bertambah menjadi Rp14.015 miliar.
Ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mendesain
perencanaan dan program pembangunan itu pada akhirnya menyebabkan otonomi
daerah gagal dalam menekan angka kemiskinan, pengangguran atau penciptaan
lapangan pekerjaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk
miskin mencapai 32,53 juta pada Maret tahun 2009. Selain itu, paradigma
pembangunan yang diterapkan pemerintah daerah masih menekankan pentingnya
pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama pembangunan. Mereka masih masih
terkooptasi oleh pemikiran bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan lebih
menguntungkan dibandingkan pilihan-pilihan lain, termasuk mengabaikan
pembangunan sosial dan keberlanjutan lingkungan di daerah.
Paulus Wirutomo (2010) menilai, keberhasilan pembangunan bukan hanya dilihat dari pencapaian kuantitatif setiap bidang atau sektor pembangunan, tetapi terutama tertanamnya nilai-nilai strategis yang telah ditargetkan. Dengan demikian, pembangunan tidak hanya bersifat growth oriented, tetapi berbasil nilai atau value based. Pembangunan nilai-nilai itu menjadi tanggungjawab lintas sektoral yang bersifat societal (mencakup seluruh bidang kehidupan).
Paulus Wirutomo (2010) menilai, keberhasilan pembangunan bukan hanya dilihat dari pencapaian kuantitatif setiap bidang atau sektor pembangunan, tetapi terutama tertanamnya nilai-nilai strategis yang telah ditargetkan. Dengan demikian, pembangunan tidak hanya bersifat growth oriented, tetapi berbasil nilai atau value based. Pembangunan nilai-nilai itu menjadi tanggungjawab lintas sektoral yang bersifat societal (mencakup seluruh bidang kehidupan).
Kondisi itu merupakan realitas paradoks di era otonomi
daerah. Delegasi kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah pada dasarnya
memberikan tanggungjawab besar kepada pemerintah daerah untuk menyusun
kebijakan pembangunan. Dengan demikian, setiap kebijakan harus disusun dan
dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik dan potensi daerah,
permasalahan sosial, ekonomi, politik yang muncul, dan sasaran yang realistis.
Pilihan kebijakan yang dianut pada dasarnya tergantung pada kondisi aktual yang
dihadapi daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong
kemandirian pemerintah daerah dalam mewujudkan pemberdayaan pembangunan secara
efektif, efisien, dan professional. Realisasi tujuan pembangunan harus
dilaksanakan secara tepat, komprehensif dan terintegrasi mulai dari aspek
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga otonomi yang diberikan kepada
daerah akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Perencanan pembangunan mempunyai peranan yang sangat besar sebagai alat untuk mendorong dan mengendalika prosses pembangunan secara lebih cepat dan terarah. Ada tiga alasan utama perencanaan pembangunan perlu diterapkan.
Pertama, karena mekanisme pasar belum berjalan sempurna (market failure), karena kondisi masyarakat yang masih sanagt terbelakang tingkat pendidikannya sehinga belum bersaing dengan golonga yang sudah maju dan mapan. Dalam kondisi ini, peran pemerintah sangat penting untuk menentukan proses pembangunan.
Kedua, perencanaan pembangunan merupakan alternatif untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang mungkin timbul di kemudian hari.
Ketiga, perencanaan pembangunan dapat memberikan arahan dan koordinasi yang lebih baik bagi pelaku pembangunan, baik pemerintah, swasta dan masyarakat.
Perencanan pembangunan mempunyai peranan yang sangat besar sebagai alat untuk mendorong dan mengendalika prosses pembangunan secara lebih cepat dan terarah. Ada tiga alasan utama perencanaan pembangunan perlu diterapkan.
Pertama, karena mekanisme pasar belum berjalan sempurna (market failure), karena kondisi masyarakat yang masih sanagt terbelakang tingkat pendidikannya sehinga belum bersaing dengan golonga yang sudah maju dan mapan. Dalam kondisi ini, peran pemerintah sangat penting untuk menentukan proses pembangunan.
Kedua, perencanaan pembangunan merupakan alternatif untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang mungkin timbul di kemudian hari.
Ketiga, perencanaan pembangunan dapat memberikan arahan dan koordinasi yang lebih baik bagi pelaku pembangunan, baik pemerintah, swasta dan masyarakat.
Arthur W. Lewis (1965) mendefinisikan perencanaan
pembangunan yakni sebagai suatu kumpulan kebijaksanaan dan program pembangunan
untuk merangsang masyarakat dan swasta untuk menggunakan sumberdaya yang
tersedia secara lebih produktif. Dalam konteks ini, dibutuhkan sebuah stimulant
berupa kebijakan insentif yang dapat mendorong penggunaan sumberdaya secara
lebih produktif sebagai modal pembangunan. Terkait dengan pembangunan di
Indonesia, definisi perencanaan pembangunan dijelaskan UU No.25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Perencanaan pembangunan
adalah Sistem SPPN yang merupakan suatu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan jangka panjang,
jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara
dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah.
Selain itu, berdasarkan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Perencanaan pembangunan nasional di Indonesia memiliki tujuan dan fungsi pokok yakni:
Selain itu, berdasarkan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Perencanaan pembangunan nasional di Indonesia memiliki tujuan dan fungsi pokok yakni:
1.
Mendukung koordinasi
antarpelaku pembangunan
2.
Menjamin terciptanya
integrasi, sinkronisasi dan sinergi antardaerah, waktu dan fungsi pemerintah,
baik pusat maupun daerah
3.
Menjamin keterkaitan
dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran dan pengawasan
4.
Mengoptimalkan
partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan
5.
Menjamin tercapainya
sumber daya secara efisiensi, efektif dan adil.
B. Orientasi Pembangunan Nasional
Berangkat dari pengalaman
model pembangunan selama ini, pemerintah, baik pusat dan daerah, tak lagi bisa
mengabaikan pentingnya pembangunan sosial (social development) yang diarahkan
untuk memperkuat masyarakat agar dapat bertahan dengan kemandiriannya
menghadapi ancaman global. Tingginya tingkat kemiskinan menjadi indikator jika
strategi pembangunan kurang diarahkan untuk mendorong kemandirian masyarakat. James
Midgley (1995) mendefinisikan pembangunan sosial sebagai suatu proses perubahan
sosial yang terencana yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
sebagai suatu keutuhan, di mana pembangunan itu dilakukan untuk saling
melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi. Pembangunan sosial
sebagai suatu proses perubahan sosial yang terencana dapat terwujud salah
satunya dengan memperkuat (empowerment) kapasitas pemerintah lokal dalam
merealisasikan tujuan pembangunan.
Dalam sejarahnya, pembangunan
sosial mulai diaktualisasikan di tahun 1961 oleh Presiden Amerika Serikat Jhon
F Kennedy. Dia merintis sebuah gagasan Rationality in Government dengan
mengerahkan dan memfasilitasi para ilmuan dari berbagai bidang untuk mengatasi
berbagai masalah sosial.
Langkah Kennedy kemudian dilanjutkan oleh Lyndon B. Johnson pada tahun 1964. Johnson mengukuhkan jargon Perang melawan Kemiskinan (unconditional War on Poverty) untuk mewujudkan Great Society. Kemudian, tahun 1968 Richard Nixon menilai War on Poverty bukan saja gagal tetapi ternyata membuat masalah menjadi lebih rumit, maka dia mencanangkan The War on Welfare. Pada tahun 1994, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton lebih tegas dengan mencanangkan Ending Welfare As We Know It. Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin.
Langkah Kennedy kemudian dilanjutkan oleh Lyndon B. Johnson pada tahun 1964. Johnson mengukuhkan jargon Perang melawan Kemiskinan (unconditional War on Poverty) untuk mewujudkan Great Society. Kemudian, tahun 1968 Richard Nixon menilai War on Poverty bukan saja gagal tetapi ternyata membuat masalah menjadi lebih rumit, maka dia mencanangkan The War on Welfare. Pada tahun 1994, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton lebih tegas dengan mencanangkan Ending Welfare As We Know It. Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin.
Pada dasarnya, pembangunan
sosial direalisasikan di sejumlah negara karena menganggap keberhasilan
pembangunan tidak sebatas diukur dari keberhasilan pembangunan ekonomi.
Apalagi, realitas menunjukan jika pembangunan sebagai salah satu paradigma
perubahan sosial berada pada masa krisis dan mengalami kegagalan penerapannya
di negara-negara Dunia Ketiga.
Pembangunan sosial mutlak dikembangkan seiring ancaman kemiskinan yang makin mengerikan akibat krisis globalisasi dewasa ini. Mengutip laporan Bank Dunia bertajuk Prospek Ekonomi Global 2010 yang dipublikasikan di Washington, Amerika Serikat, 10 Februari 2010 lalu, di akhir 2010, diperkirakan akan ada tambahan 90 juta orang yang akan hidup di bawah garis kemiskinan akibat krisis global. Jumlah kematian anak akibat malnutrisi akan bertambah sekitar 50.000 anak. Bank Dunia juga pesimistis akan mampu merealisasikan target menekan kemiskinan pada 2015 karena pemulihan ekonomi masih sangat rentan diterpa krisis.
Pembangunan sosial mutlak dikembangkan seiring ancaman kemiskinan yang makin mengerikan akibat krisis globalisasi dewasa ini. Mengutip laporan Bank Dunia bertajuk Prospek Ekonomi Global 2010 yang dipublikasikan di Washington, Amerika Serikat, 10 Februari 2010 lalu, di akhir 2010, diperkirakan akan ada tambahan 90 juta orang yang akan hidup di bawah garis kemiskinan akibat krisis global. Jumlah kematian anak akibat malnutrisi akan bertambah sekitar 50.000 anak. Bank Dunia juga pesimistis akan mampu merealisasikan target menekan kemiskinan pada 2015 karena pemulihan ekonomi masih sangat rentan diterpa krisis.
Dalam kondisi demikian,
negara-negara berkembang dipastikan akan menerima dampaknya. Negara-negara
berkembang akan kehilangan sumber-sumber pendapatan dari dana investasi
negara-negara maju yang menjadi stimulus pembangunan. Negara-negara berkembang
akan menghadapi lemahnya ekspansi ekonomi dan menderita akibat kesulitan
mendapatkan dana. Karena itu, negara-negara sedang berkembang sangat rentan
dalam ketidakstabilan pada lima hingga tujuh tahun ke depan.
Bagi Indonesia, krisis
global akan berdampak pada eksistensi ekonomi domestik yang berpengaruh
terhadap meningkatnya angka kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di tahun 2009
mencapai 33,714 juta orang atau 14,87 persen dari total jumlah penduduk
Indonesia. Menghadapi ancaman krisis global itu, setiap negara, khususnya
Indonesia, harus mampu mendesain sebuah kebijakan yang dapat menghalau dampak
negatif dari krisis global. Pembangunanisme yang menjadi jargon globalisasi
rupanya tak hanya makin mempertahankan masalah-masalah sosial konvensional
seperti kemiskinan, keterbelakangan. Namun, juga mengantarkan sebagian besar
negara Dunia Ketiga kepada kehancuran peradaban (Mashour Faqih:2005). Ironisnya,
kini makin meningkat sejumlah patologi sosial di era modern dewasa ini seperti
perdagangan manusia, pengangguran, perilaku menyimpang, eksploitasi wanita dan
anak, kenakalan remaja dan sebagainya. Karena itu, pembangunan sosial juga
terkait dengan upaya mendorong masyarakat agar dapat memberdayakan dirinya
sendiri (empowerment). (Edy Suharto: 2005). Dalam konteks ini, perlu kiranya
pengambil kebijakan menguasai tiga strategi pembangunan sosial yang ditawarkan
Midgley yakni:
Pertama, pembangunan sosial lewat pendekatan Individu (social development by inddividuals). Strategi ini diarahkan untuk mendorong individu-individu dalam masyarakat agar dapat mandiri, membentuk usaha pelayanan masyarakat guna memberdayakan masyarakat
Pertama, pembangunan sosial lewat pendekatan Individu (social development by inddividuals). Strategi ini diarahkan untuk mendorong individu-individu dalam masyarakat agar dapat mandiri, membentuk usaha pelayanan masyarakat guna memberdayakan masyarakat
Kedua, pembangunan sosial
melalui komunitas (Social Development by Communitites), di mana kelompok
masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan komunitas lokalnya.
Ketiga, pembangunan sosial
melalui pemerintah (Social Development by Government), di mana pembangunan
sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah
(govenement agencies). Sementara Hikmat (2009) menjelaskan, langkah-langkah
pelaksanaan pembangunan antara lain:
• Memahami masalah (internal & eksternal) dan potensi (internal dan eksternal),
• Mengidentifikasi kebutuhan
• Memahami masalah (internal & eksternal) dan potensi (internal dan eksternal),
• Mengidentifikasi kebutuhan
• Menentukan tujuan dan
strategi
• Merencanakan kegiatan
• Merencanakan pendayagunaan
sumber-sumber yang tersedia di masyarakat
• Melaksanakan kegiatan
• Melaksanakan kegiatan
• Memantau pelaksanaan
• Merencanakan tindak lanjut.
C.
Penyusunan Program dan Perencanaan Pembangunan Daerah
Pendekatan dalam penyusunan rencana program pembangunan
sosial yang lebih mengandalkan tujuan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Karena
itu, penyusunan program harus partisipatif.
·
kegiatan perencanaan sosial
yang mengendepankan peran aktif dari masyarakat dalam setiap langkah
pembangunan
·
Perencanaan partisipatif dapat
dilaksanakan jika instansi sosial tidak berperan sebagai perencana dan
pelaksana untuk masyarakat, tetapi sebagai fasilitator dalam proses perencanaan
dan pendamping kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat.
Perlu juga ditekankan bahwa partisipasi masyarakat diakui
dan dijamin
·
Hak informasi
lingkungan hidup
·
Pihak yang paling
mengetahui dan memahami potensi dan situasi fisik dan sosial
·
Hak atas jaminan
kepastian bahwa aspirasi, pendapat dan kepentingannya mendapat perhatian dalam
pengambilan keputusan
·
Hak aspirasi
masyarakat untuk menolak atau menerima kehadiran suatu kegiatan pembangunan
(Hikmat:2009)
Salah satu teknik penyusunan
program dan perencanaan pembangunan daerah yang cukup efektif adalah dengan menggunakan
metode analisis SWOT. SWOT merupakan singkatan dari Strength (kekuatan),
Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang) dan Threat (ancaman). Analisis
SWOT lazim digunakan dalam penyusunan sebuah perencanaan, khususnya Rencana
Strategis. Analisis SWOT yang tepat akan menghasilkan perencanaan yang terarah
sesuai dengan potensi daerah atau kapasitas institusi yang akan melaksanakan
perencanaan.
Dengan analisis SWOT akan
dapat menghasilkan program dan kegiatan yang lebih tepat untuk merebut peluang
yang tersedia maupun untuk mengatasi kelemahan yang dihadapi. Perencanaan harus
mempertimbangkan strength agar dapat menggali potensi yang ada untuk
diberdayakan bagi pembangunan. Misalnya tingkat keseuburan tanah, potensi
pertambangan, pariwisata, sumberdaya manusia, ketersedian infrastruktur dan
sebagainya.
Perencanaan harus mempertimbangkan Weaknesses dari kekuatan yang ada. Misalnya, kelemahan untuk memberdayakan potensi pertambangan berupa minimnya investasi, sarana ekspolitasi dan sebagainya. Demikian pula di bidang pariwisata berupa kelemahan sarana dan prasarana atau masalah tidak mendukungnya budaya masyarakat.
Perencanaan harus mempertimbangkan Weaknesses dari kekuatan yang ada. Misalnya, kelemahan untuk memberdayakan potensi pertambangan berupa minimnya investasi, sarana ekspolitasi dan sebagainya. Demikian pula di bidang pariwisata berupa kelemahan sarana dan prasarana atau masalah tidak mendukungnya budaya masyarakat.
Sementara Opportunities
merupakan kesempatan atau kemungkinan yang tersedia dan dapat dimanfaatkan
untuk mendorong proses pembangunan daerah. Peluang yang dimiliki suatu daerah
bersifat variatif seperti tingkat ekonomi masyarakat, latar belakang
pendidikan, teknologi pendukung pelaksanaan program atau perencanaan, dan
sebagainya.
Sementara Threat terkait ancaman yang akan timbul jika program atau perencanaan tersebut direalisasikan. Misalnya, kemungkinan terjadinya perubahan gaya hidup, kultur dan tingkah laku masyarakat, jika pemerintah gencar merealisasikan pembangunan fisik, tanpa mempertimbangkan keberadaan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Kajian mengenai SWOT harus dipetakan secara baik atau dikaji lewat penelitian guna diperoleh data kuantitatif maupun kualitatif yang valid.
Sementara Threat terkait ancaman yang akan timbul jika program atau perencanaan tersebut direalisasikan. Misalnya, kemungkinan terjadinya perubahan gaya hidup, kultur dan tingkah laku masyarakat, jika pemerintah gencar merealisasikan pembangunan fisik, tanpa mempertimbangkan keberadaan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Kajian mengenai SWOT harus dipetakan secara baik atau dikaji lewat penelitian guna diperoleh data kuantitatif maupun kualitatif yang valid.
BAB IV
VISI, MISI, TUJUAN dan SASARAN
PEMBANGUNAN
dalam
RPJMD KABUPATEN BINTAN
TAHUN 2011 – 2015
A. Visi dan Misi Kabupaten Bintan Tahun 2011-2015
1.
Visi
“Menuju Bintan Yang Maju, Sejahtera dan Berbudaya”
A.
|
BintanYang Maju
|
:
|
Bahwa pelaksanaan pembangunan daerah senantiasa dilandasi
dengan keinginan bersama untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik didukung
oleh sumberdaya manusia yang unggul. Maju juga diarahkan pada terbentuknya
daerah yang mandiri berbasis pengembangan sumber daya kelautan dan perikanan
beserta segenap potensinya secara berkelanjutan, namun tetap mengedepankan
pentingnya kerjasama dan sinergitas.
|
B.
|
Sejahtera
|
:
|
Menunjukkan kondisi
kemakmuran masyarakat Bintan yang terpenuhi kebutuhan ekonomi (materiil) dan
spiritualnya.
|
C.
|
Berbudaya
|
:
|
Perwujudan masyarakat
yang menjunjung tinggi nilai budaya yang harus dijaga kelestariannya sebagai
pedoman pengembangan masyarakat. Perwujudan masyarakat yang memiliki sifat
dan sikap yang terpuji dalam kehidupan sosial ekonomi, memiliki moral yang
tinggi serta menjunjung norma-norma agama dan norma-norma adat yang berlaku.
|
2. Misi
Misi
pemerintah daerah dalam periode 2011 – 2015 diarahkan
untuk mewujudkan Bintan yang lebih maju, sejahtera dan berbudaya. Usaha-usaha
perwujudan visi Kabupaten Bintan 2015 akan dijabarkan dalam misi pembangunan
Bintan tahun 2011 – 2015 sebagai berikut :
1.
Melanjutkan upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia yang cerdas, sehat, berdaya saing,
berbudaya serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Mewujudkan pembangunan perekonomian daerah yang berbasis pada
pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan.
3.
Melanjutkan pengembangan potensi pariwisata dan agribisnis.
4.
Melanjutkan upaya penyelenggaraan tata kepemerintahan yang
baik (good governance), demokratis
dan bertanggung jawab didukung dengan kepastian hukum dan penegakan HAM.
5.
Melanjutkan pembangunan yang adil dan merata melalui
peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana yang menunjang
perkembangan di seluruh wilayah Kabupaten Bintan.
6.
Melanjutkan upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
dengan mengedepankan kearifan lokal dan pengarusutamaan gender.
7.
Mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Sustainable Development).
3.
Tujuan dan Sasaran Pembangunan
MISI 1
Melanjutkan upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia yang cerdas, sehat, berdaya saing,
berbudaya serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Tujuan
1.
Peningkatan kualitas kehidupan beragama bagi seluruh lapisan
masyarakat Bintan;
2.
Perluasan kesempatan kerja bagi masyarkat Bintan;
3.
Peningkatan kualitas pendidikan masyarakat Bintan.
Sasaran
1. Meningkatnya toleransi antar umat
beragama yang ditandai dengan tidak adanya kasus perselisihan antar umat
beragama;
2. Menurunnya angka pengangguran terbuka dari 9,94% menjadi 5,00%;
3. Terpenuhinya standar/ketentuan nasional pendidikan anak usia dini serta
pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
MISI 2
Mewujudkan pembangunan perekonomian daerah yang berbasis pada pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan
Tujuan
1. Pembentukan iklim yang kondusif bagi penanaman modal untuk kegiatan
pembangunan di wilayah Kabupaten Bintan sesuai dengan potensi sumberdaya alam
dan manusia serta pola tata ruang daerah dan mendorong perkembangannya agar
lebih efisien dan mampu bersaing;
2. Pengembangan kawasan minapolitan dengan memanfaatkan sumberdaya perikanan
dan kelautan secara optimal, adil dan berkelanjutan melalui pengembangan sarana
dan prasarana penunjang minapolitan.
Sasaran
1. Meningkatnya persentase koperasi aktif dari 79,15% menjadi 82,80% serta
pertumbuhan rata- rata UMKM sebesar 3,77% pertahun;
2. Meningkatnya unit usaha Industri Kecil dan Menengah (IKM) sebesar 150%;
3. Terbentuknya kawasan minapolitan di 3 lokasi yang terletak di Kecamatan
Bintan Pesisir, Kecamatan Mantang, dan Kecamatan Bintan Timur.
MISI 3
Melanjutkan
pengembangan potensi pariwisata dan agribisnis
Tujuan
1. Pengembangan kawasan pariwisata melalui pengembangan sarana dan prasarana,
promosi, pelayanan dengan tetap memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup;
2. Pemanfaatan potensi alam yang ada disertai dengan pemberdayaan
pengelolaannya guna pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Sasaran
1. Meningkatnya kontribusi sektor pariwisata dalam PDRB dari 19,76% menjadi
21,61%;
2. Terlindunginya peninggalan sejarah dan warisan budaya melalui Peraturan
Daerah;
3. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pelestarian nilai seni dan
budaya daerah;
4. Meningkatnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB dari 5,79% menjadi 7,21% dan
Nilai Tukar Petani dari 100,72% menjadi 105%.
MISI 4
Melanjutkan upaya penyelenggaraan tata kepemerintahan yang
baik (good governance), demokratis
dan bertanggung jawab didukung dengan kepastian hukum dan penegakan HAM
Tujuan
1. Peningkatan kualitas aparatur pengawasan, pembinaan akuntabilitas dan
kinerja pemerintah daerah dalam usaha pemanfaatan, pengelolaan potensi wilayah
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat;
2. Pengembangan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di kecamatan;
3. Peningkatan fungsi dan peranan lembaga perwakilan rakyat daerah;
4. Perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah,
sumber daya yang ada dan kebutuhan penduduk serta memperhatikan mitigasi
bencana;
5. Peningkatan kesiapan daerah dalam menghadapi bencana;
6. Peningkatan kualitas pengelolaan keuangan dan aset daerah;
7. Peningkatan kemampuan pembiayaan pembangunan daerah;
8. Peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa serta nilai-nilai demokrasi;
9. Peningkatan keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat Bintan;
10. Peningkatan kualitas arsip dan perpustakaan daerah;
11. Peningkatan kualitas kesehatan Masyarakat Bintan;
12. Peningkatan kualitas sistem ketenagakerjaan;
13. Peningkatan kesehatan, kesejahteraan dan ketahanan keluarga;
14. Peningkatan produksi dan produktivitas serta nilai tambah sektor kelautan
dan perikanan.
Sasaran
1. Meningkatnya kinerja pemerintah dalam penyelesaian permasalahan di masyarakat dengan berpedoman pada
peraturan perundangan yang berlaku;
2. Meningkatnya pembinaan masyarakat di kecamatan;
3. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan
kecamatan dari 90% menjadi 100%;
4. Meningkatnya produk legislasi daerah yang disahkan dari 63,64% menjadi
100%;
5. Meningkatnya kesesuaian muatan perencanaan daerah dengan implementasinya
dari 70% menjadi 90%;
6. Meningkatnya kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat dalam penanganan awal
bencana;
7. Membaiknya opini laporan keuangan
daerah dari WDP menjadi WTP;
8. Membaiknya opini kewajaran nilai
aset daerah dari WDP menjadi WTP;
9. Meningkatnya penerimaan daerah sebesar 60,4% yaitu dari 429,63 miliar menjadi 711,25
miliar;
10. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum dari 49,40%
menjadi 60%;
11. Menurunnya indeks kriminalitas dari 112 menjadi 105;
12. Meningkatnya persentase kearsipan daerah dari 5% menjadi 80% dan berkembangnya
minat baca masyarakat;
13. Terpenuhinya pelayanan kesehatan sesuai standar;
14. Terpenuhinya standar aturan ketenagakerjaan;
15. Menurunnya jumlah keluarga prasejahtera dan sejahtera I dari 23,64%
menjadi 22,49%;
16. Meningkatnya kontribusi sektor perikanan dalam PDRB sebesar 8%.
MISI 5
Melanjutkan pembangunan yang adil dan merata melalui
peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana yang menunjang
perkembangan di seluruh wilayah Kabupaten Bintan
Tujuan
Peningkatan keandalan
sistem/jaringan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman Kabupaten Bintan.
Sasaran
Meningkatnya kuantitas
dan kualitas jaringan jalan, jembatan, dan drainase.
MISI 6
Melanjutkan upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dengan
mengedepankan kearifan lokal dan pengarusutamaan gender
Tujuan
1. Pengembangan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat agar
dapat memanfaatkan potensi sumberdaya alam dengan optimal;
2. Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bintan;
3. Peningkatan Peran Serta Perempuan Dalam Pembangunan Daerah.
Sasaran
1. Menurunnya persentase penduduk miskin dari 11% menjadi 8%;
2. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dari 10% menjadi
11,2%;
3. Meningkatnya Indeks kesetaraan gender dari 24,45 menjadi 30,1.
MISI 7
Mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan (Sustainable Development)
Tujuan
1. Penyusunan dan penetapan struktur, pemanfaatan dan pengelolaan ruang pesisir dan
pulau-pulau kecil yang berwawasan lingkungan sebagai pedoman pembangunan di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang multisektoral dan terpadu;
2. Penyediaan energi listik bagi
masyarakat Kabupaten Bintan;
3. Peningkatan kualitas lingkungan hidup di Kabupaten Bintan;
4. Pembentukan Kabupaten Bintan daerah yang bersih, hijau, dan asri;
5. Peningkatan kelestarian sumber daya hutan di Kabupaten Bintan;
6. Meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan.
Sasaran
1. Meningkatnya pengelolaan sumber daya kelautan Kabupaten Bintan;
2. Meningkatnya kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana wilayah;
3. Meningkatnya rumah tangga yang terlayani kebutuhan listrik dari 60,38%
menjadi 65%;
4. Meningkatnya indeks kualitas lingkungan hidup dari 51,65% menjadi 59,79%;
5. Meningkatnya persentase sampah yang ditangani dari 20,50% menjadi 100%;
6. Meningkatnya luas ruang terbuka hijau yang dikelola dari 6.600 m2 menjadi 17.226 m2;
7. Menurunnya kerusakan hutan lindung
dari 1658,8 Ha menjadi 9 Ha;
8. Meningkatnya pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai dengan dokumen
lingkungan.
BAB V
PENUTUP
Segitiga pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial, pengendalian pertumbuhan penduduk, serta lingkungan hidup harus dikelola pemerintah secara bersama-sama dan terintegrasi. Itulah konsep pembangunan berwawasan kependudukan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Penduduk harus ditempatkan sebagai titik sentral kegiatan pembangunan.
Selama periode 2004-2009, tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan antara 4,5 persen sampai 6,0 persen. Pertumbuhan ekonomi sebesar itu diperkirakan hanya dapat menyerap angkatan kerja baru sekitar satu sampai satu setengah juta pekerja saja. Pada masa lalu, setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen mampu menyerap sekitar 400.000 pekerja. Namun, pada saat ini diperkirakan hanya mampu menyerap sebanyak 250.000 sampai 300.000 pekerja baru. Sementara angkatan kerja baru setiap tahun bertambah 2,5 juta orang. Dengan jumlah penduduk yang diperkirakan masih bertambah dari 207 juta jiwa pada tahun 2004 menjadi 220 juta jiwa pada tahun 2009, diperkirakan tingkat pengangguran pada tahun 2009 nanti sekitar 8 persen dari seluruh angkatan kerja yang ada. Pendapatan daerah merupakan elemen utama bagi pemerintah daerah dalam mendukung terlaksananya penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan pelayanan kepada masyarakat. Dalam pengelolaan pendapatan daerah harus diperhatikan bahwa upaya peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah jangan sampai menambah beban masyarakat. Prinsip bahwa nilai tambah pendapatan daerah yang akan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat serta merupakan upaya mobilisasi sumber daya daerah untuk peningkatan pendapatan daerah jangan sampai menimbulkan gangguan terhadap keberlangsungan sumber daya. Pengembangan sistem pendapatan daerah dibutuhkan untuk menjamin stabilitas pendapatan daerah supaya pemerintah daerah mampu mengembangkan administrasi keuangan dan pelayanan publik yang lebih independen dan otonom.
DAFTAR PUSTAKA
Dadang Solihin,2008, Isu
dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah, Lokakarya Penyusunan
Pembangunan Daerah.
Edi Suharto, 2008, Analisis
Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial,
Alfabeta.
James Midgley, 2005, Social Development, Sage Publication.
Jim Ife dan Frank Tesoriero, 2009, Communty Development, Pustaka Pelajar,
Harry Hikmat, 2009, Prespektif
Dasar, Metode dan Teknik Perencanaan.
M. Ryaas Rasyid,
1998, Desentralisasi Dalam Rangka
Menunjang Pembangunan Daerah, dalam Kumpulan Karangan, Pembangunan Adminstrasi
di Indonesia, Disunting Achmad Sjihabuddin, Jakarta, LP3ES,.
Manggara Tambunan, 2010, Menggagas Perubahan Pendekatan Pembangunan, Menggerakan Kekuatan Lokal
dalam Globalisasi Ekonomi, Graha Ilmu.
Paulus Tangdilintin, 2009, Dasar-dasar Evaluasi Pembangunan,
Safi’i. 2009. Perencanaan Pembangunan Daerah, Kajiian dan
Aplikasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan. Malang: Averroes
Press.
Sjafrizal, 2009, Teknis
Praktis Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah, Baduose Media,
Sunyoto Usman, 1998, Pembangunan
dan Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka Pelajar,
Paulus Wirutomo, 2010, Pembangunan
Berbasis Nilai, Makalah Pidato Ilmiah, di Acara Dies Natalis FISIP
Universitas Indonesia,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar