Ekonomi Pembangunan
Masalah
Pembangunan di Indonesia
Hingga saat
ini, pandangan banyak ahli ekonomi pembangunan terhadap pembangunan ekonomi
masih diwarnai oleh dikotomi antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
pembangunan. Masih adanya kontroversi antara mana yang lebih dahulu untuk
dilakukan dan dicapai, pertumbuhan ekonomi atau pemerataan pembangunan.
Kontroversi tersebut muncul disebabkan karena penerapan strategi pembangunan
ekonomi yang mengacu pada pertumbuhan (growth) dan pemerataan (equity) belum
menunjukkan hasil yang memuaskan.
Definisi Pembangunan
Istilah
pembangunan seringkali digunakan dalam hal yang sama dengan pengembangan.
Sehingga istilah pembangunan dan pengembangan (development) dapat saling
dipertukarkan. Namun berbagai kalangan di Indonesia cenderung menggunakan
secara khusus istilah pengembangan untuk beberapa hal yang spesifik. Meski
demikian, sebenarnya secara umum kedua istilah tersebut diartikan secara tidak
berbeda untuk proses-proses yang selama ini secara universal dimaksudkan
sebagai pembangunan atau development (Rustiadi, 2006: vii-1).
Ada yang
berpendapat bahwa kata “pengembangan” lebih menekankan proses meningkatkan dan
memperluas. Dalam pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang
tidak dari “nol”, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada,
melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan
kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas (Rustiadi, 2006: vii-1).
Sumitro
(1994) mendefinisikan pembangunan sebagai “suatu transformasi dalam arti
perubahan struktur ekonomi. Perubahan struktur ekonomi diartikan sebagai
perubahan dalam struktur ekonomi masyarakat yang meliputi perubahan pada
perimbangan keadaan yang melekat pada landasan kegiatan ekonomi dan bentuk
susunan ekonomi. Menurut penulis, pemahaman Sumitro ini terkait dengan
pandangan Arthur Lewis (1954) tentang pentingnya transformasi struktur ekonomi
pertanian ke struktur ekonomi industri dalam upaya menuju pertumbuhan (dalam
aspek ini pengertian pertumbuhan asosiatif dengan pembangunan) ekonomi.
Dalam pada
itu, Budiman (1995) membagi teori pembangunan ke dalam tiga kategori besar
yaitu teori modernisasi, dependensi dan pasca-dependensi. Teori modernisasi
menekankan pada faktor manusia dan budayanya yang dinilai sebagai elemen
fundamental dalam proses pembangunan.
Kategori ini
dipelopori orang-orang seperti (a) Harrod-Domar dengan konsep tabungan dan
investasi (saving and investation), (b) Weber dengan tesis etika protestan dan
semangat kapitalisme (the protestant ethic and the spirit of capitalism), (c)
McClelland dengan kebutuhan berprestasi, (d) Rostow dengan lima tahap
pertumbuhan ekonomi (the five stage of economics growth), (e) Inkeles dan Smith
dengan konsep manusia modern, serta (f) Hoselitz dengan konsep faktor-faktor
non-ekonominya.
Di lain
sisi, Kartasasmita (1996) menyatakan, pembangunan adalah “usaha meningkatkan
harkat martabat masyarakat yang dalam kondisinya tidak mampu melepaskan diri
dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Membangun masyarakat berarti
memampukan atau memandirikan mereka”.
Menurut
Tjokrowinoto (1997), batasan pembangunan yang nampaknya bebas dari kaitan tata
nilai tersebut dalam realitasnya menimbulkan interpretasi-interpretasi yang
seringkali secara diametrik bertentangan satu sama lain sehingga mudah
menimbulkan kesan bahwa realitas pembangunan pada hakikatnya merupakan self
project reality.
Secara
filosofis, suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai “upaya yang
sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga
yang paling humanistik” (Rustiadi, 2006: vii-1). Di lain sisi, UNDP
mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai “suatu
proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging
people’s choices) (dalam Rustiadi, 2006: vii-1). Dalam konsep tersebut,
penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimate end), bukan alat, cara
atau instrumen pembangunan sebagaimana dilihat oleh model formasi modal manusia
(human capital formation) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana
untuk mencapai tujuan itu.
Pembangunan
yang dijalankan di Indonesia sejak tahun 1970-an hingga sekarang masih
cenderung fokus pada pembangunan ekonomi, bahkan pada pertumbuhan ekonomi yang
cenderung jangka pendek. Sehingga masalah keberlanjutan belum menjadi prioritas
utama. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi pun
kualitasnya semakin memburuk. Apalagi dengan keterbatasan APBN dan sumber daya
yang kita miliki, sehingga tidak mengherankan apabila pengambil kebijakan lebih
memilih jalan pintas, yang cepat kelihatan hasilnya, kurang memperhatikan
keberlanjutannya.
Padahal
pembangunan berkelanjutan sudah menjadi tuntutan bagi pengambil kebijakan
pembangunan dalam bumi yang semakin rusak ini. Namun demikian lingkungan hidup
tidak mendapatkan banyak perhatian sejak lama baik pada skala global, regional
ataupun negara. Apalagi negara sedang berkembang yang tengah banyak menghadapi
permasalahan ekonomi seperti Indonesia. Sehingga degadrasi lingkungan telah
banyak menurunkan kualitas hidup masyarakat, khususnya di negara sedang
berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itulah masyarakat dunia sejak tahun
1970-an mulai memberikan perhatian yang besar pada masalah lingkungan, dalam
rangka pembangunan yang berkelanjutan. Hal itu dapat dilihat diantaranya dari
Stockholm Conference (1972), Agenda 21 di Rio Earth Summit (1992), dan
Johannesburg Declaration (2002). Meski komitmen dan perhatian besar telah
diberikan pada tingkat internasional, namun kondisi lingkungan hidup masih saja
memburuk. Kita sekarang masih hidup dalam kondisi yang dapat merusak lingkungan
hidup semakin parah, sehingga akan membahayakan kehidupan umat manusia pada
masa mendatang. Oleh karena itulah usaha untuk menjaga lingkungan hidup agar
pembangunan dapat berkelanjutan sehingga kepentingan kehidupan generasi yang
akan datang terproteksi, menjadi semakin penting untuk diperjuangkan. Dengan
demikian perlu adanya jaminan agar supaya dalam memenuhi kebutuhan sekarang
kita tidak akan mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhannya.
Dalam
perkembangannya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya terkait
dengan aspek lingkungan hidup, namun juga pembangunan ekonomi dan sosial yang
dikenal dengan the living triangle. Tidaklah mungkin lingkungan dapat dijaga
dengan baik bila kondisi sosial dan ekonomi masyarakat buruk. Oleh karena
itulah dalam rangka melestarikan lingkungan hidup kita secara berkelanjutan,
pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan juga perlu dilakukan.
Tidaklah mungkin masyarakat yang untuk hidup saja sulit akan dapat menjaga
lingkungannya dengan baik. Perhatian dan komitmen yang besar masyarakat
internasional pada pembangunan berkelanjutan khususnya dari negera maju dalam
beberapa conference adalah cukup besar. Namun demikian dalam implementasinya
ternyata jauh dari harapan. Dapat dilihat bahwa Official Development Assistance
(ODA) yang diberikan negara maju rata-rata hanya sebesar 0,27% dari PDB mereka
pada tahun 1995, turun dari 0,34% pada tahun 1992. Pada tahun 2000 didapati
hanya 4 negara yang menandatangi komitmen ODA memenuhi komitmennya. Hal ini mencerminkan
bahwa pembangunan berkelanjutan pada tingkat globalpun seringkali hanya menjadi
retorika politik belaka. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa upaya pembangunan
berkelanjutan tidak mudah diimplementasikan (Cooper & Vargas, 2004).
Rendahnya komitmen
negara maju dalam memenuhi komitmennya dalam kerangka pembangunan yang
berkelanjutan tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan rendahnya kepentingan
negara maju untuk mendukung pembangunan berkelanjuitan global. Hal ini tentu
saja erat kaitannya dengan kalahnya prioritas menjaga lingkungan dengan masalah
aktual seperti meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi taupun menjaga agar dunia
usaha dari negaranya yang banyak diwakili oleh TNCs terus berkembang dalam
pasar global. Tingginya nilai politis dari kepentingan ekonomi jangka pendek
tersebut memang akan mudah membuat politisi baik dari negara maju ataupun
sedang berkembang akan mengedepankan kepentingan jangka pendek. Selain itu
jangan lupa bahwa bargaining power dari bisnis raksasa di negara maju tentu
saja juga besar sekali, sehingga akan mampu mendistorsi keputusan yang diambil
oleh pejabat publik, dapat mengalahkan kepentingan publik dalam jangka panjang.
Hal yang sama juga terjadi di negara kita, dimana seringkali pengambilan
keputusan dibengkokan oleh kepentingan pemodal yang memiliki kedekatan dengan
kekuasaan. Sehingga tidaklah mengherankan jika World Trade Organization (WTO)
yang menawarkan liberalisasi serta akses pasar yang lebih luas, serta kadang
menawarkan solusi yang lebih menarik/menguntungkan terhadap berbagai isu yang
sama (terkait dengan isu pembangunan berkelanjutan) dapat menjadi salah satu
outlet bagi mereka. Oleh karena itulah dapat dipahami jika WTO berkembang pesat
akhir-¬akhir ini. Sementara pembangunan berkelanjutan semakin tenggelam
ditengah-tengah berbagai kemelut ekonomi yang dihadapi oleh banyak negara,
khususnya negara Selatan.
Prinsip-prinsip
ekonomi yang menekankan pada efisiensi ekonomi dengan maximizing benefit dan
minimizing cost dari sudut pandang teori ekonomi memang sangat rasional.
Sehingga dengan ekonomi yang semakin liberal ekonomi pada akhirnya banyak
dikuasai oleh perusahaan transnational (TNCs) yang banyak beroperasi di negara
sedang berkembang, baik untuk mendapatkan input khususnya sumber daya alam,
maupun tenaga kerja murah, ataupun untuk memperluas pasar produk mereka.
Sedangkan bagi negara sedang berkembang, globalisasi yang menjadikan
masyarakatnya menjadi konsumen dari TNCs, juga menggunakan globalisasi untuk
memperluas pasarnya, meskipun biasanya untuk produk primer ataupun sekunder
dengan tingkat teknologi yang rendah. Sehingga banyak negara sedang berkembang
yang terjerat utang ataupun masih harus berkubang dengan kemiskinan yang
kronis. Bahkan Stiglitz dalam bukunya Globalization and Its Discontent (2002)
mengatakan bahwa manfaat dari globalisasi lebih rendah dari klaim yang selama
ini diyakininya, sebab harga yang harus dibayar juga mahal, karena lingkungan
yang semakin rusak, demikian juga proses politik korup berkembang, dan cepatnya
perubahan yang terjadi membuat masyarakat tidak dapat menyesuaikan budayanya.
Liberalisasi
pasar yang semakin melibas perekonomian di banyak Negara juga telah menghambat
pembangunan berkelanjutan. Martin Khor direktur dari Third World Network
melihat bahwa lieberalisasi dan globalisasi yang menekankan pada "daya
saing" telah menghambat pembangunan berkelanjutan sehingga merusak
lingkungan. Liberalisasi dan globalisasi telah memperburuk lingkungan global
karena tidak adanya aturan dan pengawasan pada TNCs di pasar global sehingga
meningkatnya volume bisnis mereka meningkatkan kerusakan lingkungan. Padahal
aktivitas TNCs telah banyak merusak lingkungan hidup (penghasil lebih dari 50%
greenhouse gases). Demikian juga kebijakan yang liberal dan integrasi pasar
telah mendorong peningkatan eksploitasi dari sumber daya alam seperti hutan dan
kelautan sehingga mendorong kerusakkan lingkungan yang serius. Selain itu
globalisasi mendorong ekplorasi sumber daya alam yang melampau batas
keberlangsungannya seperti air, tanah, dan mineral, telah banyak merusak
lingkungan hidup.
Bagi negara
seperti Indonesia, yang baru saja keluar dari krisis ekonomi, serta masih
menghadapi banyak masalah ekonomi dan sosial yang berat, sehingga menghadapi
proses globalisasi baik dalam kerangka ASEAN Free Trade Area (AFTA) tahun 2010,
ASEAN Economic Community tahun 2015, Asia Pacific Economic Cooperation (APEC),
dan WTO adalah tidak mudah. Oleh karena itu membangun kembali Indonesia
tidaklah mudah pada saat ini. Apalagi membangun secara berkelanjutan ditengah-tengah
pasar yang semakin liberal.
Tantangan Indonesia
Potret
pembangunan berkelanjutan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan potret
internasional, bahkan cenderung lebih buruk. Meskipun komitmen pemerintah
nampaknya cukup besar sejak jaman Orde Baru, diantaranya dapat dilihat dengan
keberadaan Kementrian Negara Lingkungan Hidup yang tentunya diikuti dengan
kebijakan dan anggaran untuk melestarikan lingkungan hidup. Namun komitmen dan
keberadaan kementrian yang menjaga lingkungan hidup pun ternyata tidak
mencukupi. Dapat dilihat dari kerusakkan lingkungan hidup Indonesia yang masih
saja berlanjut, sehingga bencana alam semakin banyak terjadi di tanah air kita
yang tercinta ini. Laut, hutan dan lingkungan hidup lainnya pada umumnya
semakin rusak.
Seperti
sudah dibahas sebelumnya bahwa menjaga lingkungan tidaklah dapat berdiri
sendiri. Pembangunan berkelanjutan dengan melestarikan lingkungan hanya akan
berhasil jika dipadukan secara terintegral dengan pembangunan ekonomi dan
sosial yang berkelanjutan. Oleh karena itulah perlu kebijakan yang terintegral
dalam pembangunan lingkungan dengan pembangunan ekonomi dan sosial agar dapat
memberikan hasil yang optimal. Meski demikian desain program yang baikpun belum
menjamin keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Banyak bukti menunjukkan bahwa
keberhasilan pembangunan berkelanjutan seringkali terganjal oleh kurangnya
implementasi yang baik. Secara prinsip pembangunan berkelanjutan sebenarnya
harus terefleksi dalam cara berfikir, hidup, memerintah dan berbisnis dari
seluruh masyarakat. Oleh karena itulah dalam kerangka mensukseskan pembangunan
berkelanjutan banyak sekali aspek yang perlu dibenahi.
Kegagalan
implementasi kebijakan, program ataupun proyek-proyek pada pembangunan
berkelanjutan seringkali karena tidak mempertimbangkan berbagai aspek yang
perlu dilihat, baik dari sisi teknis, legal, fiskal, administrasi, politik,
etik dan budaya (Cooper and Vargas, 2004). Pertanyaannya adalah apakah secara
teknis suatu kebijakan fisibel erat kaitannya dengan apakah kita tahu apa yang
perlu dilakukan, bagaimana caranya? Seringkali tantangannya disini adalah lebih
pada masalah keberlanjutannya suatu kebijakan, dan apa yang dilakukan dalam
kerangka pembangunan berkelanjutan. Dari sisi legal tentu saja erat kaitannya
dengan apakah secara legal kebijakan ataupun program yang dilakukan tidak
melanggar rambu¬rambu yang ada. Dalam hal ini tantangan yang dihadapi adalah
bagaimana kita mendesain infrastruktur legal yang diperlukan untuk pembangunan
berkelanjutan. Ataupun kasus yang hangat akhir-akhir ini terkait dengan masalah
illegal logging dan penegakkan hukumnya yang dinilai tidak memihak pada
lingkungan. Jelas ini merupakan salah satu masalah terbesar bangsa Indonesia.
Sedangkan dari sisi fiskal, tantangan yang dihadapi diantaranya adalah
bagaimana mendesain kebijakan yang ongkosnya minimal ditengah beban fiskal yang
berat untuk membayar hutang. Oleh karena itu dana untuk melaksanakan program
pembangunan terbatas, sehingga perlu terobosan agar supaya secara fiskal baik
dari sisi penerimaan dan pengeluaran dapat mendukung pembangunan berkelanjutan.
Reformasi fiskal yang tengah kita gulirkan mestinya juga didasari oleh
kepentingan melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Adapun aspek administrasi
erat kaitannya dengan kemampuan organisasi dan kemampuan manajerial untuk
melaksanakan secara konsisten kebijakan yang ada. Dalam hal ini koordinasi baik
secara horizontal ataupun vertikal, baik di pusat maupun daerah, ataupun antar
pusat dan daerah, ataupun antar daerah, sangat krusial untuk dilakukan.
Seringkali ego antar instansi dan juga antar pemerintah pusat dan daerah
membuat koordinasi untuk melaksanakan kebijakan secara konsisten sulit untuk
dilakukan. Aspek politik juga memegang peranan penting dalam melaksanakan
pembangunan berkelanjutan. Selain political will untuk melaksanakan pembangunan
berkelanjutan penting. Namun stabilitas politik juga memegang peranan penting
dalam hal ini. Untuk itulah perlu pembangunan institusi dan juga perbaikkan
pemerintahan untuk mensukseskan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan aspek
etika dan budaya juga memegang peranan penting dalam implementasi kebijakan
pembangunan berkelanjutan. Itu semua menunjukkan bahwa mengimplementasikan
kebijakan pembangunan berkelanjutan tidaklah mudah. Meski demikian tidak berarti
tidak dapat dilakukan.
Pembangunan
berkelanjutan tidaklah mudah dilakukan oleh negara yang masih menghadapi banyak
masalah ekonomi seperti Indonesia. Beban hutang yang besar, kemiskinan dan
pengangguran yang tinggi, serta stabilitas ekonomi yang rapuh serta pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas rendah membuat pemerintah menghadapi tantangan besar
dalam mengimplementasikan kebijakan ekonomi berkelanjutan.
Sementara
itu kondisi keungan negara yang berat, hutang luar negeri yang besar, serta
fundamental ekonomi yang masih rapuh, disertai dengan kualitas pertumbuhan
ekonomi yang memburuk. Membuat Indonesia akan mudah terjebak memilih kebijakan
ekonomi yang cenderung menguntungkan dalam jangka pendek. Khususnya dengan
mengeksploitasi sumber daya alamnya, ataupun memberikan kelonggaran yang lebih
besar pada kegiatan ekonomi yang berpotensi merusak lingkungan baik dari
industrialis domestik ataupun asing. Pembangunan berkelanjutan menjadi semakin
mahal untuk diimplementasikan.
Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Pengertian Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah
terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Istilah
pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam WorldConservation
Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United
Nations Environment Programme (UNEP), International Union for
Conservation of Nature andNatural Resources (IUCN), dan World
Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980. Pada 1982, UNEP menyelenggarakan
sidang istimewa memperingati 10 tahun gerakan lingkungan dunia (1972-1982) di
Nairobi, Kenya, sebagai reaksi ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama
ini. Dalam sidang istimewa tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk
Lingkungan dan Pembangunan (WorldCommission on Environment and
Development - WCED). PBB memilih PM Norwegia Nyonya Harlem Brundtland
dan mantan Menlu Sudan Mansyur Khaled, masing-masing menjadi Ketua dan Wakil
Ketua WCED. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan
berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb)
yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan
kebutuhan generasi masa depan”. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran
lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan
sosial.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan ini kemudian dipopulerkan melalui laporan
WCED berjudul “Our CommonFuture” (Hari Depan Kita Bersama) yang
diterbitkan pada 1987. Laporan ini mendefi nisikan Pembangunan Berkelanjutan
sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di dalam
konsep tersebut terkandung dua gagasan penting.
Pertama, gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin
sedunia yang harus diberi prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan, yang
bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan
lingkungan untuk memenuhi kebututuhan kini dan hari depan. Jadi, tujuan
pembangunan ekonomi dan sosial harus dituangkan dalam gagasan keberlanjutan di
semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
Budimanta (2005) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu
cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana
dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan
umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan
dating untuk menikmati dan memanfaatkannya. Dalam proses pembangunan
berkelanjutan terdapat proses perubahan yang terencana, yang didalamnya
terdapat eksploitasi sumberdaya, arah investasi orientasi pengembangan
teknologi, dan perubahan kelembagaan yang kesemuanya ini dalam keadaan yang
selaras, serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi
kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu
lingkungan. Lebih luas dari itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga
lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan
lingkungan (selanjutnya disebut 3 Pilar Pembangunan berkelanjutan).
Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005
menyebut ketiga pilar tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong
bagi pembangunan berkelanjutan. Idealnya, ketiga hal tersebut dapat berjalan
bersama-sama dan menjadi focus pendorong dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam
buku “Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21” (Buku 1) Sarosa
menyampaikan bahwa pada era sebelum pembangunan berkelanjutan digaungkan,
pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya tujuan bagi dilaksanakannya suatu
pembangunan tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Selanjutnya pada era
pembangunan berkelanjutan saat ini ada 3 tahapan yang dilalui oleh setiap
Negara. Pada setiap tahap, tujuan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi namun
dengan dasar pertimbangan aspek-aspek yang semakin komprehensif dalam tiap
tahapannya. Tahap pertama dasar pertimbangannya hanya pada keseimbangan
ekologi. Tahap kedua dasar pertimbangannya harus telah memasukkan pula aspek
keadilan sosial. Tahap ketiga, semestinya dasar pertimbangan dalam pembangunan
mencakup pula aspek aspirasi politis dan sosial budaya dari masyarakat setempat.
Tahapan-tahapan ini digambarkan sebagai evolusi konsep pembangunan
berkelanjutan, seperti dalam Gambar 1 berikut ini.
Indikator /
Kriteria Pembangunan Berkelanjutan
0 Januari 2009 pukul 1Phase 1 Phase 2 Phase 3
Berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, maka indikator
pembangunan berkelanjutan tidak akan terlepas dari aspek-aspek tersebut diatas,
yaitu aspek ekonomi, ekologi/lingkungan, sosial, politik, dan budaya. Sejalan
dengan pemikiran tersebut, Djajadiningrat (2005) dalam buku Suistanable
Future: Menggagas Warisan Peradaban bagi Anak Cucu, Seputar Pemikiran Surna
Tjahja Djajadiningrat, menyatakan bahwa dalam pembangunan yang berkelanjutan
terdapat aspek keberlanjutan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Keberlanjutan Ekologis
2. Keberlanjutan di Bidang Ekonomi
3. Keberlanjutan Sosial dan Budaya
4. Keberlanjutan Politik
5. Keberlanjutan Pertahanan Keamanan
Prof. Otto Soemarwoto dalam Sutisna (2006), mengajukan enam tolok ukur
pembangunan berkelanjutan secara sederhana yang dapat digunakan baik untuk
pemerintah pusat maupun di daerah untuk menilai keberhasilan seorang Kepala
Pemerintahan dalam pelaksanaan proses pembangunan berkelanjutan. Keenam tolok
ukur itu meliputi:
- pro lingkungan hidup;
- pro rakyat miskin;
- pro kesetaraan jender;
- pro penciptaan lapangan kerja;
- pro dengan bentuk negara kesatuan RI dan
- harus anti korupsi, kolusi serta nepotisme. Berikut ini penjelasan
umum dari masing-masing tolok ukur.
Tolak ukur pro lingkungan hidup (pro-environment) dapat diukur
dengan berbagai indikator. Salah satunya adalah indeks kesesuaian,seperti
misalnya nisbah luas hutan terhadap luas wilayah (semakin berkurang atau
tidak), nisbah debit air sungai dalam musim hujan terhadap musim kemarau,
kualitas udara, dan sebagainya. Berbagai bentuk pencemaran lingkungan dapat
menjadi indikator yang mengukur keberpihakan pemerintah terhadap lingkungan.
Terkait dengan tolok ukur pro lingkungan ini, Syahputra (2007) mengajukan
beberapa hal yang dapat menjadi rambu-rambu dalam pengelolaan lingkungan yang
dapat dijadikan indikator, yaitu:
- Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi secara
benar menurut kaidah ekologi.
- Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak
boleh melebihi potensi lestarinyaserta upaya mencari pengganti bagi
sumberdaya takterbarukan(non-renewable resources).
- Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi
kapasitas asimilasi pencemaran.
- Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung
lingkungan (carrying capacity).
Tolak ukur pro rakyat miskin (pro-poor) bukan berarti anti orang
kaya. Yang dimaksud pro rakyat miskin dalam hal ini memberikan perhatian pada
rakyat miskin yang memerlukan perhatian khusus karena tak terurus
pendidikannya, berpenghasilan rendah, tingkat kesehatannya juga rendah serta
tidak memiliki modal usaha sehingga daya saingnya juga rendah. Pro rakyat
miskin dapat diukur dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
atau HumanDevelopment Index (HDI) dan Indeks Kemiskinan
Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI) yang dikembangkan
PBB. Kedua indikator ini harus dilakukan bersamaan sehingga dapat dijadikan
tolok ukur pembangunan yang menentukan. Nilai HDI dan HPI yang meningkat akan
dapat menunjukkan pembangunan yang pro pada rakyat miskin.
Tolak ukur pro kesetaraan jender/pro-perempuan (pro-women),
dimaksudkan untuk lebih banyak membukakesempatan pada kaum perempuan untuk
terlibat dalamarus utama pembangunan. Kesetaraan jender ini dapatdiukur dengan
menggunakan Gender-related.Develotmenta.Index (GDI) dan Gender
Empowerment Measure(GEM) untuk suatu daerah.Jika nilai GDI mendekati HDI,
artinyadi daerah tersebut hanya sedikitterjadi disparitas jender dan
kaumperempuan telah semakin terlibat dalam proses pembangunan.
Tolak ukur pro pada kesempatan hidup atau kesempatan kerja
(pro-livelihood opportunities) dapat diukur dengan menggunakan
berbagai indikator seperti misalnya indikator demografi (angkatan kerja, jumlah
penduduk yang bekerja, dan sebagainya), index gini, pendapatan perkapita, dan
lain-lain. Indikator Kesejahteraan Masyarakat juga dapat menjadi salah satu hal
dalam melihat dan menilai tolok ukur ini
Tolak ukur pro dengan bentuk negara kesatuan RI merupakan suatu
keharusan, karena pembangunanberkelanjutan yang dimaksud adalah untuk
bangsaIndonesia yang berada dalam kesatuan NKRI.
Tolak ukur anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilihat dari
berbagai kasus yang dapat diselesaikanserta berbagai hal lain yang terkait
dengan gerakan anti KKNyang digaungkan di daerah bersangkutan.Buah pemikiran
pakar lingkungan ini sejalan denganbuah pemikiran beberapa konseptor
pembangunan berkelanjutan yang dirangkum oleh Gondokusumo (2005),dimana
disebutkan syarat-syarat yang perlu dipenuhi untuktercapainya proses
pembangunan berkelanjutan (Tabel1). Syarat-syarat tersebut secara umum terbagi
dalam 3 indikator utama, yaitu:
- Pro
Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan
untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui
teknologi inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.
- Pro
Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non antroposentris
yang menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan
kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital,
dan mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material.
- Pro
Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap
sumberdaya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan
Budimanta (2005) menyatakan, untuk suatu proses pembangunan berkelanjutan,
maka perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut:
- Cara
berpikir yang integratif. Dalam konteks ini, pembangunan haruslah melihat
keterkaitan fungsional dari kompleksitas antara sistem alam, sistem sosial
dan manusia di dalam merencanakan, mengorganisasikan maupun melaksanakan
pembangunan tersebut.
- Pembangunan
berkelanjutan harus dilihat dalam perspektif jangka panjang. Hingga
saat ini yangbanyak mendominasi pemikiran para pengambilkeputusan dalam
pembangunan adalah kerangkapikir jangka pendek, yang ingin cepat
mendapatkanhasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan.Kondisi ini
sering kali membuat keputusan yangtidak memperhitungkan akibat dan
implikasi padajangka panjang, seperti misalnya potensi kerusakanhutan yang
telah mencapai 3,5 juta Ha/tahun, banjiryang semakin sering melanda dan
dampaknya yangsemakin luas, krisis energi (karena saat ini kita
telahmenjadi nett importir minyak tanpa pernah
melakukanlangkah diversifi kasi yang maksimal ketika masih dalamkondisi surplus
energi), moda transportasi yang tidakberkembang, kemiskinan yang sulit
untuk diturunkan,dan seterusnya.
- Mempertimbangkan
keanekaragaman hayati, untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu
tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa mendatang. Yang tak
kalah pentingnya adalah juga pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya
yang akan mendorong perlakukan yang merata terhadap berbagai tradisi
masyarakat sehingga dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.
- Distribusi
keadilan sosial ekonomi. Dalam konteks ini dapat dikatakan pembangunan
berkelanjutan menjamin adanya pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai
dengan meratanya sumber daya lahan dan faktor produksi yang lain, lebih
meratanya akses peran dan kesempatan kepada setiap warga masyarakat, serta
lebih adilnya distribusi kesejahteraan melalui pemerataan ekonomi
Peran Tata Ruang Dalam Pembangunan Kota Berkelanjutan
Terkait dengan pembangunan perkotaan, maka kota yang menganut paradigma
pembangunan berkelanjutan dalam rencana tata ruangnya merupakan suatu kota yang
nyaman bagi penghuninya, dimana akses ekonomi dan sosial budaya terbuka luas
bagi setiap warganya untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun kebutuhan interaksi
sosial warganya serta kedekatan dengan lingkungannya. Menurut Budimanta (2005),
bila kita membandingkan wajah kota Jakarta dengan beberapa kota di Asia maka
akan terlihat kontras pembangunan yang dicapai. Singapura telah menjadi kota
taman, Tokyo memiliki moda transportasi paling baik di dunia, serta Bangkok
sudah berhasil menata diri menuju keseimbangan baru ke arah kota dengan
menyediakan ruang yang lebih nyaman bagi warganya melalui perbaikan moda
transportasinya. Perbedaan terjadi karena Jakarta menerapkan cara pandang
pembangunan konvensional yang melihat pembangunan dalam konteks arsitektural,
partikulatif dalam konteks lebih menekankan pada aspek fisik dan ekonomi
semata. Sedangkan ketiga kota lainnya menerapkan cara pandang pembangunan
berkelanjutan dalam berbagai variasinya, sehingga didapatkan kondisi ruang kota
yang lebih nyaman sebagai ruang hidup manusia di dalamnya.
Menurut Budihardjo (2005), rencana tata ruang adalah suatu bentuk kebijakan
publik yang dapat mempengaruhi keberlangsungan proses pembangunan
berkelanjutan. Namun masih banyak masalah dan kendala dalam implementasinya dan
menimbulkan berbagai konfl ik kepentingan. Konflik yang paling sering terjadi
di Indonesia adalah konfl ik antar pelaku pembangunan yang terdiri dari
pemerintah (public sector), pengusaha atau pengembang (private sector),
profesional (expert), ilmuwan (perguruan tinggi), lembaga swadaya
masyarakat, wakil masyarakat, dan segenap lapisan masyarakat. Konfl ik yang
terjadi antara lain: antara sektor formal dan informal atau sektor modern dan
tradisional di perkotaan terjadi konfl ik yang sangat tajam; proyek “urban
renewal” sering diplesetkan sebagai “urban removal”; fasilitas
publik seperti taman kota harus bersaing untuk tetap eksis dengan bangunan
komersial yang akan dibangun; serta bangunan bersejarah yang semakin menghilang
berganti dengan bangunan modern dan minimalis karena alasan ekonomi. Dalam
kondisi seperti ini, maka kota bukanlah menjadi tempat yang nyaman bagi
warganya. Kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan cenderung dikibarkan sebagai
slogan yang terdengar sangat indah, namun kenyataan yang terjadi malah bertolak
belakang. Terkait dengan berbagai konfl ik tersebut, maka beberapa usulan yang
diajukan Budihardjo (2005) untuk meningkatkan kualitas perencanaan ruang,
antara lain:
- Orientasi
jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah
jangkapendek yang bersifat inkremental, dengan wawasan pada pelaksanaan
atau action oriented plan.
- Penegakan
mekanisme development control lengkap dengan sanksi (disinsentif) bagi
berbagai jenis pelanggaran dan insentif untuk ketaatan pada peraturan.
- Penataan
ruang secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-model advocacy,
participatory planning dan over-the-board planning atau
perencanaan lintas sektoral, sudah saatnya dilakukan secara konsekuendan
konsisten.
- Perlu
peningkatan kepekaan sosio kultural dari para penentu kebijakan dan para
professional (khususnya di bidang lingkungan binaan) melalui berbagai
forum pertemuan/diskusi/ceramah/publikasi, baik secara formal maupun
informal.
- Perlu
adanya perhatian yang lebih terhadap kekayaan khasanah lingkungan alam
dalam memanfaatkan sumber daya secara efektif dan efi sien.
- Keunikan
setempat dan kearifan lokal perlu diserap sebagai landasan dalam
merencanakan dan membangun kota, agar kaidah a city as a social
workof art dapat terejawantahkan dalam wujud kota yang memiliki
jati diri. Fenomena globalization withlocal fl avour harus
dikembangkan untuk menangkal penyeragaman wajah kota dan tata ruang.
Disamping enam usulan tersebut tentunya implementasi indikator-indikator pembangunan
berkelanjutan yang berpijak pada keseimbangan pembangunan dalam sedikitnya
3 (tiga) pilar utama, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial harus menjadi
dasar pertimbangan sejak awal disusunnya suatu produk rencana tata ruang
kota/wilayah.
Thanks. verygood, untuk tambahan pengetahuan
BalasHapus